GIVE APUN A CHANCE

Another baby orangutan found in Merapun village, Kelay district, East Kalimantan. A wooden cage sized around 70 cm x 50 cm x 50 cm was his home since 2015. Mr. Eliakim found him on the back of a hut near his farm.

“It is unnatural for baby orangutan to be raised by human. Baby orangutans are highly dependent to their mom until they are 5 years old. And no orangutan is willing to give up their baby voluntarily,” vet. Ryan.

The baby orangutan is named Apun. He is just 3 years old and very tame. “It will be a long road to rehabilitate Apun,” added Ryan, sadly. The process of orangutan rehabilitation is not an easy and short journey. Lack of Apun’s interest to fruits is also adding the concern. Apun was found on the back of palm plantation.

His natural habitat is fading away due to land conversion. “How can orangutan survive without forest?” stated Paulinus Kristianto. Orangutan in Kalimantan are oppressed due to conversion of their natural habitat. The increasing of their status is hoped to bring attention to all parties. “Yes, orangutans are not endangered anymore, but they are critically endangered now. Can we save orangutans?” (Zahra_Orangufriends)

BERIKAN KESEMPATAN UNTUK APUN
Satu lagi anak orangutan ditemukan di kampung Merapun, kecamatan Kelay, Kalimantan Timur. Kandang kayu berukuran 70 cm x 50 cm x 50 cm ini menjadi tempat tidurnya sehari-hari sejak tahun 2015. Pak Eliakim yang menemukannya di belakang pondok dekat kebunnya.

“Tak sewajarnya bayi orangutan berada di tangan manusia. Bayi orangutan sangat tergantung sama induknya hingga usia 5 tahun. Dan tak satu induk pun secara sukarela memberikan anaknya.”, ujar drh. Ryan.

Apun begitu nama orangutan jantan ini. Usianya baru 3 tahun dan jinak sekali. “Ini akan jadi jalan panjang lagi untuk rehabilitasi bayi Apun.”, hela Ryan sedih. Proses rehabilitasi orangutan bukanlah hal yang mudah dan sebentar. Tidak antusiasnya bayi orangutan ini pada buah-buahan yang diberikan juga semakin mengkawatirkan.

Lokasi ditemukan orangutan Apun tepat berada di belakang perkebunan kelapa sawit. Hutan sebagai habitatnya semakin habis dengan alih fungsi seperti ini. “Bagaimana orangutan bisa bertahan tanpa ada hutan?”, ujar Paulinus Kristianto. Orangutan di Kalimantan pada umumnya semakin terdesak karena habitatnya yang semakin habis, statusnya yang kritis diharapkan bisa menjadi perhatian semua pihak. “Ya, Orangutan bukan lagi terancam punah, tapi kritis. Bisakah kita menyelamatkan orangutan?”.

SEMINAR OF ENVIRONMENTAL CONFLICT AT D3 UGM ECONOMY

Ecosophy in its 30th year, held an Environmental Seminar with the theme of Environmental Conflict in the Eye of Economics in Indonesia. Present as a speaker Hardi Baktiantoro who is the founder of Centre for Orangutan Protection with the material of Wildlife Conflict with Company in Kalimantan and drh. Erni Suyanti Musabine with material of Tiger Conflict with Society in Bengkulu Province. Seminar with moderator Fawas Al-Batawy who is the author of Yang Sublime in the rain became so exciting.

There are 100 students at meeting Room 225, 2nd floor, Vocational School, UGM on March 10, 2018. “How does a theory on campus get the facts on the ground?”, asked Septian.

Not only the seminar, Music Donation with the headline “Sound For Earth” also took place the next day, Sunday, March 11, 2018 at Wisdorm Park, in front of the campus of Economic D3 UGM. “This is a fundraising concert for orangutan care in Kalimantan. Hopefully what we donate is beneficial to the universe.”, said the committee.

“COP is happy to be able to share in this seminar and the creativity of D3 Economics students deserves thumbs up.”, said Hardi. (LSX)

SEMINAR KONFLIK LINGKUNGAN DI D3 EKONOMI UGM
Ecosophy dalam usianya yang ke-30 tahun melangsungkan Seminar Lingkungan Hidup dengan tema Konflik Lingkungan dalam Kacamata Ekonomi di Indonesia. Hadir sebagai pembicara Hardi Baktiantoro yang merupakan pendiri Centre for Orangutan Protection dengan materi Konflik Satwa Liar dengan Perusahaan di Kalimantan dan drh. Erni Suyanti Musabine dengan materi Konflik Harimau dengan Masyarakat di Provinsi Bengkulu. Seminar dengan moderator Fawas Al-Batawy yang merupakan penulis buku Yang Menyublim di Sela Hujan menjadi begitu seru.

Ada 100 mahasiswa memenuhi Ruang 225, lantai 2, Sekolah Vokasi, UGM pada 10 Maret 2018. “Bagaimana sebuah teori di kampus mendapatkan fakta di lapangan.”, ujar Septian.

Tak hanya seminar, Musik Donasi dengan tajuk “Sound For Earth” juga berlangsung keesokan harinya , Minggu, 11 Maret 2018 di Wisdorm Park, depan kampus D3 Ekonomi UGM. “Ini adalah sebuah konser penggalangan dana untuk perawatan orangutan di Kalimantan. Semoga apa yang kita donasikan bermanfaat bagi alam semesta.”, ujar panitia.

“COP senang sekali bisa berbagi di seminar ini dan kreatifitas mahasiswa D3 Ekonomi patut diacungi jempol.”, ujar Hardi haru.

TERMITE NEST FOR NIGEL

The sound of broken twigs with leaf twist breaks the silence of COP Borneo forest school. In the sunny afternoon, the baby orangutans play excitedly, showing their ability to climb, moving from one tree to another while tasting the tops of the leaves that can be reached. This is very different from the adult teenage orangutan, who must stay in the cage. When it’s so … when his animal keeper provides enrichment for orangutans who can not join the forest school.

Armed with hoes and machetes, the search for treasure named termite nest starts. The location is not far from the cage. One … two swings hoe immediately found the nest in question. Even the termites went straight out. “Usually in the nest is also a lot of eggs and newly hatched termites. It is a natural food of orangutans that they love very much, “said Danel, animal keeper COP Borneo.

Not all orangutans in the cage understand how to pick up and eat the contents of this termite nest. “Nigel is the most clever. He is also painstaking searching for his eggs in termite nest rooms, “Danel said. While the other orangutans … should be helped by breaking the nest and showing the termite eggs. (LSX)

SARANG RAYAP UNTUK NIGEL
Suara ranting patah dengan guguran daun memecah kesunyian sekolah hutan COP Borneo. Di siang yang begitu cerahnya, para bayi orangutan bermain dengan seru, menunjukkan kebolehan mereka memanjat, berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain sembari menyicipi pucuk daun yang bisa diraihnya. Ini berbeda sekali dengan orangutan remaja yang beranjak dewasa, yang harus berdiam di dalam kandang. Kalau sudah begitu… saat nya animal keeper memberikan enrichment untuk orangutan-orangutan yang tidak bisa ikut sekolah hutan.

Berbekal cangkul dan parang, pencarian harta karun bernama sarang rayap pun di mulai. Lokasinya tak jauh dari kandang. Satu… dua kali ayunan cangkul pun langsung menemukan sarang yang dimaksud. Bahkan rayapnya pun langsung keluar. “Biasanya di dalam sarangnya juga banyak telurnya dan rayap yang baru menetas. Itu adalah pakan alami orangutan yang sangat disukai mereka.”, ujar Danel, animal keeper COP Borneo.

Tidak semua orangutan yang berada di kandang mengerti cara mengambil dan memakan isi sarang rayap ini. “Nigel tuh yang paling pinter. Dia juga telaten mencari telur-telurnya di ruang-ruang sarang rayap.”, ujar Danel lagi. Sementara orangutan yang lainnya… harus dibantu dengan memecahkan sarang dan menunjukkan telur rayap. (Danel_COPBorneo).