THE PAIN OF POPI IN 24 HOURS STORYTELLING FESTIVAL

Apparently, Saturday, March 24, 2018 was world storytelling day. Really, I didn’t know. What i knew was, i was invited to a forum of literation activist (FPL) by my old friend in reading and writing community in Padang city. Hoping there would be a cooperation in campaign of wildlife protection and its habitat by educating children, I was going with other Padang Orangufriends. And suprisingly, there was a big event in Kampung Literasi Gang Aster of Padang Panjang city and the local government with the title of 24 Hours Storytelling Festival.

After filling the guest book, we tried to blend in even it was awkward. It’s amazing how Padang Panjang citizen appreciated this event. Participants who became storyteller were many, ranging from children to adults. The audience was large though. Shortly thereafter, a friend who invited me came and told me directly to storytelling without asking. I stammered, “What? Storytelling?”. This was a new thing and i had not done that before especially in public. Except for storytelling for my own child at night.

My mind grews uneasy. It’s a challenge. But I was not ready. As I chatted, I kept thinking what the story would be. Finally my memories recalled Lara Pongo movie that was I watched during Jambore Orangufriends Yogyakarta last year. Storytelling is one of the most effective methods to educate children. With this method, the message would be delivered properly. Children’s ability to remember is also longer on fairy tales material. Uh yes.. I was reminded of my childhood that every night my mom and my dad often told me stories and i still remember the story that ever told.

Armed with my experience being a volunteer at COP Borneo’s orangutan rehabilitation center, I therefore told a story about the poor Popi. Popi, who was forced to enter rehabilitation center at the age of 1 month because her mother died of being killed. Every now and then I tried to interact with the audience. I couldn’t believe, the kindergarden children could answer the question I asked with surprising answers. Apparently, they realized the natural damage that had occured.

30 minutes became so short. And this was an opening to another wildlife story that I would deliver through the next school visit, along with literacy activist forum of Padang city of course. (Novi_Orangufriends Padang)

LARA SI POPI DI FESTIVAL MENDONGENG 24 JAM
Ternyata, Sabtu, 24 Maret 2018 yang lalu adalah Hari Mendongeng Dunia. Sungguh, aku tak tahu. Yang ku tahu, aku diundang oleh sahabat lama di komunitas Membaca dan Menulis yaitu Forum Pegiat Literasi (FPL) di kota Padang Panjang. Berharap ada kerja bersama untuk kampanye perlindungan satwa liar dan habitatnya lewat edukasi ke anak-anak, aku pun datang bersama Orangufriends Padang lainnya. Dan kagetnya, ternyata ada even besar di Kampung Literasi Gang Aster kota Padang Panjang dan pemerintah setempat dengan tajuk Festival Mendongeng 24 Jam.

Usai mengisi buku tamu, kami pun mencoba untuk membaur walau canggung. Luar biasa apresiasi warga kota Padang Panjang pada acara ini. Peserta yang menjadi pendongeng pun banyak mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penonton yang hadir pun tak kalah banyak. Tak lama kemudian, teman yang mengundangku pun muncul dan tanpa bertanya langsung menyuruhku untuk mendongeng. Dengan gelagapan aku menjawab, “Apa? mendongeng?”. Ini adalah hal yang baru dan belum pernah kulakukan sebelumnya apalagi di depan umum. Kalau mendongeng sebelum anak tidur sih memang sering kulakukan di rumah.

Pikiranku semakin tak tenang. Ini sih tantangan. Tapi ngak siap. Sambil ngobrol, aku terus berpikir mencari ide akan mendongeng apa. Akhirnya ingatanku menyangkut di film Lara Pongo yang pernah kutonton di Jambore Orangufriends Yogyakarta akhir tahun lalu. Mendongeng adalah salah satu metode edukasi yang paling efektif untuk anak-anak. Lewat metode ini, pesan akan tersampaikan dengan baik. Kemampuan mengingat anak juga lebih lama pada materi dongeng tersebut. Ah iya… aku jadi teringat masa kanak-kanakku yang setiap malam sering didongengkan Mama dan Papa dan aku masih mengingat kisah yang pernah didongengkan.

Berbekal pengalaman menjadi relawan pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, aku pun berkisah tentang Popi yang malang. Popi yang terpaksa masuk pusat rehabilitasi saat usianya 1 bulan, karena induknya mati dibunuh. Sesekali aku mencoba berinteraksi dengan penonton. Tak kusangka, anak-anak TK bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan dengan jawaban yang mengejutkan. Ternyata mereka menyadari kerusakan alam yang terjadi.

30 menit menjadi begitu singkat. Dan ini adalah pembuka untuk kisah-kisah dongeng tentang satwa liar lainnya yang akan ku sampaikan lewat kegiatan school visit selanjutnya, bersama Forum Pegiat Literasi kota Padang Panjang tentunya. (Novi_Orangufriends Padang)

A MONTH WITH ANNIE AT COP BORNEO

This is Annie. The new orangutan male entered the COP Borneo orangutan rehabilitation center on March 11, 2018. He isn’t more than 4 years old. He lives with people in Merapun village. Inside the 3 × 3 m, this cage of wood became his home.

Three years of living with humans has changed his behavior and his present nature. Ever since childhood, Annie had to live without his mother’s affection. When viewed from outside physical conditions, Annie looks fine, in terms of not skinny.

First time entering the quarantine cage at COP Borneo, Annie looks confused. Annie often sounded loud like shouting during the daytime. During a month of watching Annie, Annie is a very spoiled orangutan. When any animal keeper comes along, he will be pretending to be shy to come. But when the animal keeper starts to move away from the cage, Annie begins to cry.

There was another month left for Annie in the quarantine cage. This benign behavior is going to be the toughest animal keeper homeworks. “But we are optimistic, every orangutan brought to COP Borneo will learn fast. The Borneo COP forest school is truly Borneo’s true rainforest. This forest will teach Annie.”, said Anen spirit. (SLX)

ANNIE SELAMA SEBULAN DI COP BORNEO
Inilah Annie. Orangutan jantan yang baru masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo pada tanggal 11 Maret 2018. Usianya tak lebih dari 4 tahun. Dia hidup bersama warga di desa Merapun. Di dalam kandang berukuran 3 x 3m dari kayu ini menjadi rumahnya.

Tiga tahun hidup bersama manusia telah mengubah perilaku dan sifatnya yang sekarang. Sejak kecil, Annie harus hidup tanpa kasih sayang induknya. Jika dilihat dari kondisi fisik luar, Annie terlihat baik-baik saja, dalam artian tidak kurus.

Pertama kali masuk kandang karantina di COP Borneo, Annie terlihat bingung. Annie sering bersuara keras seperti berteriak ketika siang hari. Selama sebulan mengamati Annie, Annie merupakan orangutan yang sangat manja. Ketika ada animal keeper datang, dia akan malu-malu kucing mendekat. Namun ketika animal keeper mulai menjauh dari kandang, Annie pun mulai menangis.

Masih ada waktu satu bulan lagi yang harus dilalui Annie di kandang karantina. Perilaku jinak nya ini akan jadi PR terberat animal keeper. “Tapi kami optimis, setiap orangutan yang dibawa ke COP Borneo akan belajar cepat. Sekolah hutan COP Borneo benar-benar hutan hujan Kalimantan yang sesungguhnya. Hutan ini akan mengajarkan Annie.”, ujar Anen semangat. (EJA)

DEBBIE IS MISSING FROM THE ISLAND

March 1st is a very historic day for Center for Orangutan Protection. The day that COP stands to address the orangutans and habitat problems by documenting the conditions in the field where orangutans lose their habitat. In the year 2018 is also the history of zoo orangutans who have dozens and even tens of years will learn to live without the iron bars that restrict movement. The lucky orangutan is Ambon and Debbie.

Debbie, a 20-year-old female orangutan, after waiting in the quarantine cage for 2 years and 9 months at the orangutan rehabilitation center COP Borneo, Berau, East Kalimantan, finally enjoys his freedom. One … the first two weeks, Debbie still struggling downstairs. Make a nest / hideout from the leaves it finds underneath. Calling Debbie to the feeding platform while feeding also keeps track of her progress. Debbie climbed the first tree. He survives at a height of 15 meters. The next day, March 25, 2018, Debbie is still in the same tree, just above the feeding platform and dear, it was the last encounter with Debbie when the team finished feeding in the afternoon.

Debbie’s search was immediately made. When feeding morning at 09.00 WITA (26/3/2018) Debbie is not seen. The team toured the island until it got darker. The next day the team searched Debbie by sweeping the orangutan island, and checked out the usual place Debbie had visited. Unfortunately the search still has not produced results.

The addition of personnel to search Debbie was done, sweeping the island repeated, down river began to be done up to Nyapak village and Long Lanuk village. The village is about 4 hours down of the river with ketinting / boat from the orangutan island where Debbie lives. A whole week, Debbie is in searched and the team loses Debbie.

Not desperate, the team still continue to check the details on every corner of the island and the riverside. But there is no sign of its existence. Debbie is missing without a trace. (LSX)

DEBBIE HILANG DARI PULAU
1 Maret adalah hari yang sangat bersejarah untuk Centre for Orangutan Protection. Hari dimana COP berdiri untuk menjawab permasalahan orangutan dan habitatnya dengan mendokumentasi kondisi di lapangan dimana orangutan kehilangan habitatnya. Di tahun 2018 ini pula sejarah orangutan kebun binatang yang telah belasan bahkan puluhan tahun akan belajar hidup tanpa jeruji besi yang membatasi gerakannya. Orangutan yang beruntung itu adalah Ambon dan Debbie.

Debbie, orangutan betina yang berusia 20 tahun, setelah menanti di kandang karantina selama 2 tahun 9 bulan di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur, akhirnya bisa menikmati kebebasannya. Satu… dua minggu pertama, Debbie masih berkutat di bawah. Membuat sarang/tempat persembunyian dari daun-daun yang ditemukannya di bawah. Memanggil Debbie ke feeding platform saat memberi makan juga untuk terus memantau perkembangannya. Debbie pun memanjat pohon pertamanya. Dia bertahan di ketinggian 15 meter. Keesokan harinya, 25 Maret 2018, Debbie masih berada di pohon yang sama, tepat di atas feeding platform dan sayang, itu adalah perjumpaan terakhir dengan Debbie saat tim selesai melakukan feeding di sore hari.

Pencarian Debbie pun langsung dilakukan. Saat feeding pagi pukul 09.00 WITA (26/3/2018) Debbie tidak terlihat. Tim berkeliling pulau hingga hari semakin gelap. Keesokan harinya tim mencari Debbie dengan menyisir pulau orangutan, dan mengecek tempat yang biasa Debbie kunjungi. Sayang pencarian masih belum membuahkan hasil.

Penambahan personil untuk pencarian Debbie pun dilakukan, penyisiran pulau diulang, penyusuran sungai mulai dilakukan hingga kampung Nyapak dan kampung Long Lanuk. Kampung tersebut sekitar 4 jam menyurusuri sungai dengan ketinting/perahu dari pulau orangutan tempat Debbie tinggal. Seminggu penuh, Debbie dalam pencarian dan tim kehilangan Debbie.

Tak kenal putus asa, tim pun masih terus melakukan pengecekkan detil di setiap sudut pulau dan pinggiran sungai. Namun tak ada tanda-tanda keberadaannya. Debbie hilang tanpa bekas.