PENDATANG BARU DI BORA AKHIRNYA MENGHABISKAN BUAHNYA

Satu bulan yang lalu, anak orangutan ini masuk pusat rehabilitasi orangutan yang ada di Berau, Kalimantan Timur. Orangutan ini akhirnya terbiasa memakan buah jatahnya sampai habis. Dia adalah Orangutan Kalimantan betina yang dulunya dipelihara masyarakat dan disita BKSDA Kaltim kemudian dititipkan ke BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) untuk menjalani rehabilitasi.

Selama kurang lebih empat tahun menjadi peliharaan, anak orangutan ini terbiasa diberi makanan manusia oleh pemeliharanya. Dia lebih mengenal roti, permen, wafer dan makanan manusia lainnya, tepatnya jajanan anak-anak yang dapat dengan mudah dibeli di warung.

Ketika dua minggu pertama di BORA, anak orangutan ini kelihatan sangat belum terbiasa ketika diberi pakan buah. Setiap diberi buah-buahan, dia hanya mencoba satu gigitan lalu langsung membuang sisanya. Namun setelah lebih dari dua minggu, dia perlahan-lahan mulai terbiasa untuk makan buah.

Memasuki bulan pertamanya menjadi penghuni pusat rehabilitasi orangutan ini, dia sudah bisa memakan sebagian besar buahnya sampai habis. Hanya beberapa jenis pakan yang masih belum disukainya, salah satunya buah jeruk. Terimakasih para pendukung Centre for Orangutan Protection, kami masih mencari nama yang tepat untuknya, untuk orangutan terbaru yang masuk ke BORA. (RAF)

HARI ORANGUTAN SEDUNIA: ORANGUTAN DI KALIMANTAN 2021

Orangutan merupakan satu-satunya primata besar endemik yang kini hanya tersisa di pulau Sumatera dan Kalimantan. Ketiga spesies orangutan masuk dalam daftar terancam kritis atau critically endangered (CR) dalam daftar International Union for Concervation of Nature and Natural Resources atau disingkat IUCN.

Kebutuhan ruang untuk pembangunan wilayah perkebunan skala besar, pertambangan, hutan tanaman industri serta infrastruktur menyebabkan adanya alih fungsi hutan yang kemudian berdampak pada tekanan populasi orangutan. Ini sebagai akibat dari habitat orangutan yang hilang.

Selain dari pada itu khususnya untuk Orangutan Kalimantan fakta di lapangan menunjukkan bahwa orangutan sering kali ditemui di luar kawasan lindung. Setidaknya dalam periode 2020-2021 saja COP mencatat ada 36 kasus orangutan yang muncul di wilayah kegiatan manusia. Mulai dari wilayah pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit, pemukiman masyarakat serta pinggir jalan di wilayah Kalimantan Timur.

Tingginya konflik Orangutan Kalimantan yang terjadi di wilayah Kalimantan Timur sudah sepatutnya menjadi perhatian oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam konservasi orangutan. COP berupaya keras untuk memberikan kesempatan kedua bagi keberlangsungan hidup orangutan.

Dalam satu tahun terakhir, selain mempertahankan habitat orangutan yang ada, Centre for Orangutan Protection tengah berupaya memetakan dan mengusulkan wilayah baru yang masih memiliki tutupan hutan yang cukup baik sebagai salah satu solusi terhadap semakin menyempitnya habitat Orangutan Kalimantan. Kedepannya wilayah ini menjadi lokasi pelepasliaran bagi orangutan dari Pusat Rehabilitasi serta tidak menutup kemungkinan menjadi rumah baru yang lebih baik bagi orangutan yang tergusur dari habitatnya dan membutuhkan translokasi dari wilayah yang memiliki tingkat konflik tinggi.

“COP membutuhkan dukungan dari berbagai pihak khususnya Kementrerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dapat segera merealisasikan rencana kawasan pelepasliaran yang baru. Agar konflik-konflik orangutan yang terjadi dapat diminimalisir serta pembangunan dapat selaras dengan upaya konservasi orangutan dan habitatnya”, jelas Arif Hadiwijaya, manajer perlindungan habitat orangutan COP. (RIF)

HARI ORANGUTAN SEDUNIA: PERDAGANGAN ILEGAL 2021

Sepanjang 2021, kasus perdagangan orangutan masih terus terjadi. Penilaian Centre for Orangutan Protection (COP) kejahatan menggunakan metode lebih modern (via online) dan terorganisir baik. Dalam catatan satu tahun terakhir sedikitnya 5 kasus perdagangan orangutan terjadi di Indonesia dari 7 individu orangutan yang berhasil diselamatkan, 6 diantaranya Orangutan Sumatera dan 1 Orangutan Kalimantan.

Semakin berkembangnya teknologi bagaikan dua mata pisau berbeda, bisa berbahaya mendukung kejahatan dan sebaliknya bisa membantu mendukung konservasi satwa. COP menyatat bisnis perdagangan orangutan sangat besar, sistematis dan terorganisir baik. Contoh harga bayi orangutan ketika masih di pulau Kalimantan atau Sumatera berkisar Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. Kalau sampai di Jawa harga bisa menyentuh nilai puluhan juta. Akan beda lagi jika diseludupkan ke luar negeri, harganya bisa 10 kali lipat. Jadi, bisnis ini subur karena perputaran uang sangat besar.

Sepanjang 2021, COP bersama penegak hukum beberapa kali operasi penyitaan dan mendorong penegakan hukum seperti pada 21 Februari 2021 silam. Balai Besar BKSDA Yogyakarta dibantu COP mengevakuasi 2 individu bayi orangutan di Semarang, Jawa Tengah. Dua Orangutan Sumatera ini disinyalir adalah korban perdagangan orangutan lintas pulau.

Selain itu kasus perdagangan orangutan di Samarinda, kalimantan Timur pada tutup bulan April 2021, Ditreskrimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus) Mabes Polri dibantu COP dan OIC menggerebek pedagang satwa di Samarinda. Tim menangkap pedagang bernama Max dan mengamankan 1 individu bayi orangutan betina yang ditaruh dalam ember kecil di bagasi mobil. Saat ini kasus masih berjalan di pengadilan. Untuk orangutan tersebut kini telah mendapatkan perawatan penuh di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) di Berau, Kalimantan Timur.

Praktik perburuan dan perdagangan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Utamanya satwa tersebut dijadikan peliharaan atau hewan koleksi oleh orang-orang dari kalangan berkantong tebal. “Pengawasan dan penegakan hukum yang lebih tegas dan berani adalah satu-satunya cara agar kasus kejahatan pada satwa liar berkurang”, kata Satria Wardhana, kordinator Anti Wildlife Crime COP.

“Perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan usaha yang menguntungkan dan beririsan dengan tindak pidana pencucian uang. Pelaku kejahatan perdagangan satwa liar dilindungi sering menyamarkan hasil tindak pidananya dari aparat hukum. Penegak hukum lebih sering menuntut sanksi pidana maksimal saja tidak mencantumkan sanksi minimal. Penggunaan Undang-Undang lain seperti UU tentang pencucian uang bisa menjadi alternatif tambahan untuk memberitakan tuntutan yang lebih berat kepada para pelaku kejahatan ini”, jelas Satria lagi.

Centre for Orangutan Protection berharap, pemerintah menetapkan kejahatan satwa liar menjadi prioritas penanganan juga. Kejahatan terhadap satwa liar adalah kejahatan serius. (SAT)