KOLA KEMBALI KE SEKOLAH HUTAN (2)

Kola adalah orangutan dengan kepribadian tak seperti orangutan lainnya. Kola terlihat selalu penasaran dengan orangutan lainnya yang berada di samping kandangnya bahkan di seberang kandangnya. Dia memilih mengamati aktivitas orangutan-orangutan lainnya dari atas hammocknya. Kola juga jarang sekali membuat suara sebagai salah satu komunikasi antar orangutan.

Ternyata bukan kandang yang membuatnya memilih tidak berinteraksi dengan orangutan lainnya. Saat sekolah hutan diperbolehkan kembali dilaksanakan, setelah wabah Corona agak mereda, Kola pun memilih untuk sendirian. Kola memilih menjauh dari lokasi sekolah hutan dimana terdapat orangutan-orangutan lainnya yang juga bermain di sekolah hutan.

“Setiba di sekolah hutan, Kola berulang kali bergerak menjauh dari sekolah hutan. Dia tidak mau bergabung dengan orangutan lainnya. Memaksanya kembali seperti sia-sia. Akhirnya dia memanjat pohon yang tinggi. Kita sih was-was, mengingat dia pernah tidak berani turun karena memanjat pohon tinggi. Lumayan lama dia di atas, sembari mengamati orangutan lainnya. Kemudian dia turun dan berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Lega”, ujar Pambudi.

Kola pun menghampiri perawat satwa. Sepertinya dia sudah lelah berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain hingga keluar lokasi sekolah hutan. “Saya pun menuntunnya ke lokasi sekolah hutan. Kali ini tanpa perlawanan. Namun Kola tak mau memanjat pohon ataupun bergabung bersama orangutan lainnya. Dia memilih berada di samping saya hingga waktu sekolah hutan berakhir. Syukurlah, saya tak perlu bermalam di sekolah hutan bersama Kola”, ucap Pambudi.

Para perawat satwa selalu merasa kawatir saat orangutan yang menjadi tanggung jawabnya menjadi orangutan yang pintar. Karena ketika orangutan tidak kembali ke kandang saat sekolah hutan usai, itu berarti perawat satwa harus menemani orangutan di lokasi yang sama, yaitu di sekolah hutan. Tapi juga menjadi sebuah kebanggaan, saat orangutan yang menjadi tanggung jawabnya pintar dan berhak pindah ke pulau pra-rilis, yaitu kelas lanjutan dimana campur tangan manusia menjadi sangat berkurang sekali dalam kehidupannya.

“Cukup, paling gak, saya bisa tidur tenang malam ini”. (PAM)

LANTAI DAN DINDING KANDANG KLINIK BORA BARU TELAH TERPASANG

Pagi yang cerah bisa saja tiba-tiba berubah menjadi hujan deras seperti air di ember yang dituang. Begitulah cuaca ekstrim di Berau, Kalimantan Timur. Cuaca ini pulalah yang menghambat pembangunan kandang karantina orangutan yang baru di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Lokasi ini berbeda dengan pusat rehabilitasi dimana sekolah hutan BORA berada.

Batang-batang besi yang telah dipotong dilas satu per satu. Bagian bawah dan belakang kandang berhasil diselesaikan. “Kalau hujan, ya tidak mungkin dilanjut mengelas. Sangat tidak memungkinkan”, kata Daniek Hendarto, direktur COP yang kebetulan berada di Berau dan langsung mengawasi pengerjaan hari itu.

Sementara di sisi lain dari lokasi BORA, pondasi klinik dan gudang buah sudah memasuki masa persiapan. Pondasi sudah ditandai dan digali. “Semoga saja semua berjalan dengan lancar dan tidak terlalu meleset dari waktu yang ditentukan. Karena sebenarnya pembangunan klinik dan karantina BORA ini sudah mundur setengah tahun. Kami berharap bisa mengejar waktu agar beberapa orangutan yang membutuhkan perawatan intensif dapat segera menjalani evaluasi dan penanganan medis yang tepat”, harapan Daniek lagi.

Orangutan yang dimaksud Daniek adalah orangutan Septi yang selalu mengalami perut kembung, bahkan setelah melalui beberapa terapi seperti tidak diberi makanan yang memungkinkan perutnya membesar bahkan penghentian pemberian susu untuk Septi, hanya efektif sesaat saja. Atau orangutan Pingpong yang selalu terlihat seperti memamah biak dengan gigi-giginya yang mengindikasi ke arah diabetes diharapakan dapat dievaluasi di klinik BORA nantinya. Terimakasih The Orangutan Project yang bersedia mewujudkan kebutuhan orangutan di BORA. Semoga kehadiran klinik dan kandang karantina BORA dapat membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyelamatkan orangutan Kalimantan.

PERDAGANGAN SATWA LIAR PICU PANDEMI LAINNYA

Pada Februari 2020 silam, pemerintah Cina secara resmi melarang impor satwa liar sekaligus mengeluarkan peraturan yang melarang warganya mengkonsumsi satwa liar. Awalnya, diyakini secara luas bahwa COVID-19 kemungkinan besar berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini didukung dengan survei bahwa mayoritas orang di Cina rela menyerahkan satwa liar sebagai makanan. Walaupun aturan ini sifatnya sementara, beberapa ahli menganjurkan agar pelarangan itu bersifat permanen. Ini memang sesuatu yang dilematis, ketika mengkonsumsi satwa liar sudah menjadi budaya. Karena negara gingseng ini, memperdagangkan satwa liar dan mengkonsumsinya dapat menjadi gengsi.

Jika melihat daftar satwa yang dikonsumsi tersebut, sebagian merupakan binatang langka yang statusnya dilindungi. Makanya perdagangan satwa belakangan ini mengakitbatkan satwa tertentu masuk List Merah IUCN. Beberapa di antaranya akibat masif diperdagangkan sehingga berstatus kritis, di ambang punah di alam aslinya. Berdasarkan hasil pantauan terakhir IUCN, populasi satwa ini menurun hingga 80 persen dalam 21 tahun terakhir.

Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dengan dalih hobi. Satwa-satwa liar itu diburu dan diperdagangkan baik secara individu maupun kelompok. Maraknya perdagangan dan penyeludupan satwa secara ilegal ditimbulkan oleh permintaan pasar yang dipicu oleh pola konsumsi, gaya hidup dan sikap hedonistik manusia yang selalu ingin mencari hal baru.

Pasar burung merupakan salah satu contoh aktivitas perdagangan satwa secara terbuka yang ada di Indonesia. Di tempat ini spesies satwa dan tumbuhan diperjualbelikan secara langsung kepada para pembeli. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah-daerah pelosok. Pasar ini dapat ditemukan di kota-kota besar hingga menyebar ke daerah -daerah pelosok. Hampir sebagian para penghobi satwa pergi ke pasar burung untuk mendapatkan satwa yang diinginkan. Di Jakarta terdapat salah satu pasar burung yang berdiri sejak tahun 1975. Di pasar ini dapat ditemukan burung lokal seperti Perkutut Jawa, Cucakrawa, Prenjak, Kepondang kuning, Nuri Irian, Dara, Merpati, Beo dan Kenari.

Jika masuk lebih ke dalam pasar, kita akan dikejutkan karena pasar burung ini ternyata tidak semata menjual burung, akan tetapi juga menjual berbagai jenis satwa liar lainnya termasuk primata. Tak hanya itu, kondisi kandang satwa yang diperjualbelikan sangat jauh dari kata layak. Beberapa satwa hanya ditaruh pada kandang kecil dan ditumpuk bersusun dengan kandang-kandang yang lain. Berbagai macam satwa berjajar tan jarak dan tak sedikit yang berbagi kotoran dengan satwa lainnya. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan ini, tak heran jika satu per satu satwa akan mati dengan sendirinya. Karena tidak semua satwa mampu bertahan dan jika merupakan satwa hasil tangkapan liar, akan lebih beresiko kematian. Hal ini patut dijadikan perhatian khusus, dimana tempat jual beli satwa tersebut bisa jadi potensi penyebaran virus yang berbahaya. Beberapa studi yang dilakukan para peneliti diyakini, bahwa satwa buruan yang diperjualbelikan dapat membawa berbagai macam virus pathogen. Perdagangan satwa liar dan pasar hewan hidup merupakan kecelakaan pandemi yang menunggu untuk terjadi.

Satu tahun lebih pandemik berjalan, semakin ke sini orang-orang makin melupakan kemungkinan kaitan COVID-19 dengan satwa liar dan hampir tidak ada lagi yang membicarakannya. Ketakutan tertular virus karena satwa liar pada tahun lalu tidak ada lagi. Di sisi lain pasar perdagangan satwa liar malah makin marak di masa pandemi. Orang tampak tidak kawatir lagi memelihara bahkan mengkonsumsi satwa liar.

Indonesia merupakan salah satu pemasok satwa liar yang diperdagangkan. Pada 2017, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pendapatan dari perdagangan itu mencapai Rp 8,7 M. Sebagian dari perdagangan itu sudah berasal dari penangkaran. namun permintaan pasar yang masif dan tidak mudahnya menangkar satwa liar mengakibatkan perburuan liar yang tidak mudah dikendalikan. Banyak satwa tersebut diburu dan diperdagangkan secara ilegal. (SAT)