SOUND FOR ORANGUTAN 2018 IN YOGYAKARTA

Sound for Orangutan charity music event is the sounds of wildlife, especially orangutans and their habitat. Since 2010 at MU Cafe, Sarinah, Central Jakarta, Shaggydog band is the first music group that sincerely campaign for orangutans through Centre for Orangutan Protection. Not only enthusiastically campaign through social media, they even didn’t hesitate to set aside the profit of the concert for orangutans.

Continued in 2012 at Rolling Stone Cafe, Jakarta then this activity became an annual crowdfunding event to support orangutans and their habitat protection, that this is shared responsibility not only in the hands a of government. Since that year, many musicians and artists had took their time to perform at the charity music event, Sound for Orangutan, like Marcel Siahaan, Ballads of the Cliche, L’alphalpha, Leonardo & His Impeccable Six, Raygava, Oppie Andaresta, Melanie Subono, Payung Teduh, White Shoes and The Couples Company, Efek Rumah Kaca, Monkey Boots, Sidepony, Fikar Cartman, Dear Nancy, The Billy Sentris, Jova, The Pain Killers, Navicula, Banda Neira, Earia, Miskin Porno, J-Flow, Monkey to Millionaire, Seringai, Down For Life, FSTVLST, Sri Plecit, Broken Rose, and many more.

Sound for orangutan will be held for the 8th time with the theme of “Extinction is Forever”. the extinction of one animal species is a loss, both ecologically and its role in nature. Orangutans are great apes that an only found in the Asian continent and most of them are in Indonesia, precisely in Sumatera and Kalimantan island. Through musics, the orangutan protection campaign is spread out. The profit from this event will be donated to COP Borneo orangutan rehabilitation center, east kalimantan. The only rehabilitation center founded by Indonesian people. (SAR)

SOUND FOR ORANGUTAN 2018 DI YOGYAKARTA
Acara Musik Amal Sound for Orangutan adalah suara satwa liar khususnya orangutan dan habitatnya. Sejak 2010 di MU Cafe, Sarinah, Jakarta Pusat, band Shaggydog adalah grup musik pertama yang berkampanye untuk orangutan lewat Centre for Orangutan Protection dengan tulus. Tak hanya rajin berkampanye lewat media sosial, mereka pun tak segan-segan menyisihkan keuntungan dari konsernya untuk orangutan.

Berlanjut di tahun 2012 di Rolling Stone Cafe, Jakarta hingga menjadi acara tahunan untuk menggalang dukungan publik terkait dukungan perlindungan orangutan dan habitatnya bahwa ini adalah tanggung jawab bersama bukan hanya di tangan pemerintah. Sejak tahun itu pula, para artis seperti Marcel Siahaan, Ballads of the Cliche, L’alphalpha, Leonardo & His Impeccable Six, Raygava, Oppie Andaresta, Melanie Subono, Payung Teduh, White Shoes and The Couples Company, Efek Rumah Kaca, Monkey Boots, Sidepony, Fikar Cartman, Dear Nancy, The Billy Sentris, Jova, The Pain Killers, Navicula, Banda Neira, Earia, Miskin Porno, J-Flow, Monkey to Millionaire, Seringai, Down For Life, FSTVLST, Sri Plecit, Broken Rose, dan masih banyak lagi band indie yang menyempatkan diri tampil di acara musik amal Sound For Orangutan ini.

Sound For Orangutan akan digelar untuk kedelapan kalinya dengan tema “Extiction is Forever” atau kepunahan adalah selamanya. Kepunahan satu spesies satwa merupakan sebuah kerugian baik secara ekologi dan peran akan satwa liar tersebut di alam. Orangutan merupakan kera besar yang hanya bisa ditemukan di benua Asia dan mayoritas di Indonesia tepatnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Lewat musik, kampanye perlindungan orangutan disebarkan. Keuntungan dari penyelenggaraan musik amal ini akan disumbangkan ke Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo, Kalimantan Timur. Satu-satunya pusat rehabilitasi yang didirikan putra putri Indonesia.

Kamu pun bisa bantu orangutan Indonesia lewat pembelian kaos SFO Hijau. Hubungi SMS/ Whatsapp : 081293248403 harga berkisar Rp 100.000,00 sampai Rp 120.000,00 Pre-Order ditutup pada 25 Agustus 2018. Buruan!!!(NIK)

ENJOY THE LESAN RIVER PROTECTIVE FOREST FROM MONITORING TOWER

Tropical rainforests are known for its high canopies and various kind of wildlife that coexist. Lesan River Protective Forest is one of them which located in Berau district. This forest which is rich in biodiversity that is a haven for flora and fauna life. Not less than 200 species of plants, 52 species of mamals, and 118 species of birds can be found here. 

The interesting thing about the Lesan River Protective Forest is the monitoring tower in the middle of the forest. This tower is approximately 40 meters tall and about 10 years old. Made from the Bangkirai woods and attached to Red Meranti tree as a support. This tower can be used to see the beauty of the canopies in Lesan River Protective Forest from above, to see how magnificent the giant trees that stand tall around the tower. Also, this tower can be used for monitoring activity.

Of course, it takes a lot of courage and braveness to climb the tower. If you lucky, you can also see orangutan nest from the top of the tower. To go to this monitoring tower, first you have to go to Lejak research camp, this camp can be reached approximately 1 hour from Lesan Dayak village using Katinting boat. This camp is right at the riverside of Lesan river. Compared to the large Kelay river, Lesan river is only 10-20 metres wide and there are large stones with diameter up to 5-10 metres. 

There are also small river rocks (gritstone) which fairly expanse that when the river recedes that wide expanse of gritstone will looks colorfull. Other than that, there will be some rapids with quite strong current found there and Katinting boat of visitors will be sunk due to the swift current and long rapids if it’s not an expert who steers the boat in the rainy season. 

After arriving at Lejak Research Camp, you have to continue your journey by walking in the middle of the jungle trees for approximately 1,5 hours to reach the monitoring tower. This walk will be decorated by quite steep incline and make you feel the fatigue in the first 30 minutes. But unfortunately, this tower has to be renovated because some of the woods has looked a little weathered. Hopefully, there will be renovations for this 40 meters tall tower. (SAR)

MENIKMATI HUTAN LINDUNG SUNGAI LESAN DARI MENARA PANTAU
Hutan hujan tropis terkenal dengan kanopi yang tinggi dan berbagai macam satwa liar yang hidup berdampingan. Salah satunya adalah Hutan Lindung Sungai Lesan yang berada di kabupaten Berau. Hutan yang kaya akan keanekaragaman hayatinya ini, merupakan surga bagi kehidupan flora dan fauna unik dan langka. Tidak kurang dari 200 jenis tumbuhan, 52 jenis mamalia, dan 118 jenis burung dapat ditemukan di sini.

Hal yang menarik dari Hutan Lindung Sungai Lesan ialah Menara Pantau yang berada di tengah-tengah hutan. Menara ini menjulang setinggi 40 meter. Menara ini sudah berumur kurang lebih 10 tahun lamanya. Dibuat dari Kayu Bangkirai dan menempel dengan Pohon Meranti Merah sebagai penyangganya. Menara ini bisa digunakan untuk melihat keindahan kanopi di Hutan Lindung Sungai Lesan dari atas, betapa megahnya pohon-pohon raksasa yang berdiri di antara menara bisa kita lihat. Selain itu, menara ini juga digunakan untuk pengamatan.


Tentu saja dibutuhkan nyali dan keberanian untuk menaiki menara ini. Jika beruntung, kalian juga bisa melihat sarang orangutan dari atas menara. Untuk menuju ke Menara Pantau ini, kita harus menuju ke camp penelitian Lejak terlebih dahulu, camp ini bisa dicapai kurang lebih 1 jam dari kampung Lesan Dayak menggunakan perahu bermesin ketinting. Camp ini berada tepat di pinggir Sungai Lesan. Dibanding Sungai Kelay yang besar, Sungai Lesan lebarnya hanya sekitar 10-20 meter dan terdapat batu-batu besar berdiameter mencapai 5-10 meteran. Di pinggiran sungai ini juga tampak bebatuan kecil (kersik) yang menjadi hamparan yang lumayan luas, bahkan saat sungai surut hamparan kersik yang luas di sungai akan terlihat dengan aneka warna. Selain bebatuan yang besar dan kecil, dalam perjalanan ini juga akan ditemukan beberapa beberapa titik jeram dengan arus yang cukup deras, bahkan jika bukan ahlinya dan saat musim hujan di jeram ini tidak sedikit katinting pengunjung akan karam karena derasnya arus dan jeram yang panjang.


Setelah sampai di Camp Penelitian Lejak, kita diharuskan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki diantara pohon-pohon rimba selama kurang lebih 1,5 jam untuk menuju ke lokasi menara pantau. Perjalanan ini akan dihiasi dengan tanjakan yang sedikit curam dan bisa membuat kelelahan di 30 menit pertama. Namun sayangnya menara ini sudah saatnya untuk direnovasi, karena beberapa kayu nya Sudah terlihat sedikit lapuk. Semoga segera ada renovasi pada menara setinggi 40 meter ini.

QUARANTINE DOES NOT DOMESTICATED LECI 

Leci break the twigs and make noise when he find out there is a technician (people in charge of caring orangutan on the island of COP Borneo) who come to bring the food. That is the way little Leci shows his territory.

On the pre-release island, Leci is the smallest orangutan among the others. But, in terms of ability and intelligence, Leci dares to be aligned with Novi the orangutan who is much bigger than him.

It has been a week since Leci moved to the pre-release island, after five months stayed in quarantine cage. He does not lose his natural instincts such as foraging and making nest. “In the past, Leci often slept on other orangutan nest, but now Leci has dared to sleep on his own nest and the nest is usually still close to other orangutan nests.”, said Idham, monitoring post technician of COP Borneo orangutan island. (SAR)

KARANTINA TAK MEMBUAT LECI JINAK
Leci mematah-matahkan ranting dan mengeluarkan suara saat mengetahui ada teknisi (orang yang bertugas merawat orangutan di pulau orangutan COP Borneo) yang datang membawa buah. Itu adalah cara Leci kecil menunjukkan wilayah teritorialnya.

Di pulau pra-rilis, Leci memang orangutan yang paling kecil diantara yang lainnya. Tetapi dari segi kemampuan dan kepintaran, Leci berani disejajarkan dengan orangutan Novi yang jauh lebih besar darinya.

Sudah seminggu Leci di pulau pra-rilis, setelah lima bulan di kandang karantina. Dia tidak kehilangan naluri alaminya seperti mencari makan dan juga membuat sarang untuk istirahat. “Kalau dulu Leci sering menumpang tidur di sarang orangutan yang lain, kini Leci sudah berani tidur sendiri di sarangnya dan biasanya sarangnya masih dekat dengan sarang orangutan lainnya.”, ujar Idham, teknisi pos pantau pulau orangutan COP Borneo. (WET)