COP SCHOOL: BELAJAR KONSERVASI, PRAKTEK LAPANGAN, DAN NGOBROL BARENG PARA PENGGIAT KONSERVASI DI INDONESIA

Pernah dengar tentang COP School? Ini adalah program keren dari Centre for Orangutan Protection (COP), tempat kamu bisa belajar langsung soal dunia konservasi, penyelamatan satwa liar, dan jadi bagian dari gerakan penjaga hutan Indonesia. Tahun ini, COP School Batch 15 akan kembali digelar, dan percayalah, serunya luar biasa!

Sebagai alumni COP School Batch 14 sekaligus bagian dari Orangufriends Surabaya, akuingin berbagi sepotong pengalaman seru saat mengikuti kegiatan tahun lalu. Di sesi awal, kami dikenalkan pada dasar-dasar konservasi, mulai dari pengertian, urgensi, hingga dampak eksploitasi alam dan satwa. Tapi tenang, ini bukan kuliah yang bikin ngantuk. Materinya dikemas interaktif, penuh diskusi, dan sangat relevan dengan kondisi di lapangan.

Yang bikin semangat? Sharing dari para aktivis COP yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia penyelamatan satwa. Mereka bukan cuman berbagi cerita, tapi juga menantang kami berpikir, “Apa langkah kita selanjutnya?”.

Setelah teori, waktunya praktik! Kami diajak memahami langsung proses penyelamatan satwa yang dilakukan COP, mulai dari identifikasi kasus, teknik rescue, hingga proses rehabilitasi. Kami juga belajar tentang etika penanganan satwa liar, karena nggak semua bisa sembarangan disentuh. Tak kalah menarik, ada sesi ngobrol bareng para penggiat konservasi dari berbagai penjuru Indonesia, aktivis hutan Kalimantan dan Sumatera, relawan pusat rehabilitasi satwa, hingga jurnalis lingkungan. Cerita-cerita mereka bukan cuman inspiratif, tapi juga membumi, penuh perjuangan dan harapan.

Pulang dari COP School, aku merasa membawa “seember penuh” ilmu, pengalaman, dan semangat perubahan. Banyak alumni yang kemudian aktif di komunitas lingkungan, membuat kampanye penyelamatan satwa, bahkan mendirikan gerakan konservasi di daerahnya masing-masing. Karena di COP School, kamu bukan sekedar peserta. Kamu adalah bagian dari keluarga besar penjaga alam Indonesia. Jadi, tunggu apa lagi? Daftar COP School Batch 15 sekarang juga! (Jihan, Almuni COP School Batch 14).

KEAJAIBAN DI BALIK RENDA HUTAN

Di tengah rapatnya tegakkan pohon yang menjulang tinggi dan akar-akar yang memenuhi lantai hutan, saya dengan hati-hati melangkah menyusuri kawasan hutan yang terletak di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kami sedang melakukan survei mencari lokasi yang cocok untuk pelepasliaran orangutan. Suara burung bersahutan, sementara gemerisik dedaunan menjadi latar alami perjalanan tim. Tiba-tiba, langkah salah satu anggota tim terhenti, “Eh, tunggu sebentar! Ini apa, ya?”, seru Raffi dengan mata berbinar, tangannya menunjuk ke tanah.

Yang lain segera mendekat. Di hadapan tim, di antara lumut dan dedaunan lembab, berdiri sebuah jamur unik. Tudung hijau kecil bertengger di atasnya, sementara jaring putih tipis menjuntai ke bawah, menyerupai renda halus. Dimi membungkuk, matanya berbinar penuh antusias. “Wah, ini Jamur Tudung Pengantin!”, serunya. “Jarang-jarang bisa lihat ini langsung di habitat aslinya!”. Jamur Tudung Pengantin (Phallus indusiatus) memang bukan jamur biasa. Bentuknya yang indah sering membuatnya tampak seperti keajaiban kecil di lantai hutan. Namun, lebih dari sekadar unik, jamur ini berperan penting sebagai dekomposer alami, membantu mengurai bahan organik yang jatuh dari pepohonan raksasa di hutan.

“Berarti kawasan ini benar-benar masih terjaga ya.”, ujar Dimi, suaranya penuh semangat. “Kalau jamur ini bisa tumbuh, berarti kondisi ekosistemnya masih sehat!”. “Betul sekali.”, Raffi pun mengangguk setuju. “Hutan primer seperti ini memang habitat yang ideal, mereka bukan hanya soal jamur, tapi juga buat orangutan yang akan kita lepas-liarkan.”.

Mereka saling berpandangan, senyum kecil tersungging di wajah mereka. Temuan kecil ini semakin menguatkan keyakinan tim bahwa hutan ini layak untuk menjadi rumah baru bagi orangutan. Dengan semangat yang lebih besar, mereka melanjutkan perjalanan, berjanji dalam hati untuk terus menjaga dan melindungi keajaiban yang tersembunyi di balik renda hutan. (DIM)

JEJAK-JEJAK BERUANG DI HUTAN KERANGAS

Berbeda dari hutan Dipterokarpa yang biasa kami jelajahi di Kalimantan, kali ini kami berkesempatan menjelajahi tipe ekosistem hutan kerangan (heath forest) di Tabang, Kutai Kartanegara. Warga lokal setempat menyebut tipe ekosistem hutan ini sebagai hutan Peringit. Setiap langkah kami saat melintasi hutan ini terasa seperti menapaki permadani alam yang lembut, dimana akar-akar merah menjalin permukaan tanah menjadi hamparan yang memukau. Vegetasi penyusun hutan ini cenderung homogen dengan didominasi satu jenis pohon, karena tanahnya yang miskin hara dan tertutupi akar-akar berwarna merah. Hampir semua pohon di sini diselimuti oleh lumut yang tebal dan lembab, menciptakan suasana misterius, seolah-olah kami melangkah ke dalam hutan Mirkwood dalam kisah The Hobbit. Rasa kagum dan penasaran menyelimuti kami saat menyadari betapa unik dan misteriusnya hutan ini dibandingkan dengan tipe hutan-hutan lain yang biasa kami jelajahi.

Di tengah perjalanan kami menyusuri hutan Kerangas, meski tak ada tanda-tanda primata yang tampak, jejak-jejak beruang madu justru menjadi penanda yang mencolok. Selama dua hari kami menjelajahi tipe ekosistem ini, jejak-jejak beruang madu tersebar seperti teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Lubang galian yang dalam menghiasi tanah, sementara cakaran tajam menggores batang pohon, dan tapak kuku yang tertinggal di beberapa batang pohon seolah-olah berbisik tentang kehadiran makhluk bercakar ini. Setiap kali kami menemukan jejak baru, rasa penasaran dan kekaguman kami semakin dalam, seolah-olah beruang madu ini mengundang kami untuk mengikuti jejaknya. Keberadaan mereka tidak hanya menambah misteri hutan Kerangas, tetapi juga menunjukkan peran penting mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang rapuh ini. Menurut Tamen Enjau, pemandu lokal yang berusia sekitar 70 tahun,”Yang paling kami takuti di hutan ini beruang, kalau musim kawin bisa sampai ada puluhan”.

Di ekosistem hutan kerangas ini, vegetasi didominasi oleh pohon-pohon dari genus Syztgium (kelompok jambu-jambuan). Selain itu, kami juga menemukan spesies lain yang lebih jarang, seperti Caralia borneensis, Litsea sp., Artocarpus sp., dan Shorea sp., yang menambah keragaman flora di sini. Daris egi fauna, selain jejak-jejak beruang yang kami temui, kami juga menemukan jalur perlintasan landak yang membentuk jalan setapak yang unik. Kicauan merdu murai batu dan suara kepakan sayap enggang yang melintas di atas kanopi hutan menambah keindahan pengalaman kami. Setiap penemuan baru seolah mengundang kami untuk lebih mendalami keajaiban alam yang tersembunyi di balik pepohonan ini, menunjukkan bahwa hutan Kerangas, meskipun tampak sederhana, menyimpan banyak rahasia yang menunggu untuk diungkap.

Sebagai penutup petualangan kami di hutan Kerangas, kami menyadari bahwa keindahan dan kompleksitas ekosistem ini jauh melampaui apa yang terlihat di permukaan. Setiap bekas cakaran beruang, setiap suara burung, dan setiap tanaman yang kami temui mengisahkan cerita tentang kehidupan yang saling terhubung dalam harmoni yang rapuh. Hutan ini bukan hanya sekedar kumpulan pohon dan hewan; ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang unik dan sumber daya alam yang tak ternilai. Dalam pengalaman kami menjelajahi tipe ekosistem lain, kami belum pernah menemukan jejak-jejak beruang sebanyak dan serapat di sini, yang menunjukkan betapa vitalnya hutan kerangas sebagai habitat bagi spesies ini. (RAF)