DRACONTOMELON DAO, BUAH FAVORIT ORANGUTAN DI HUTAN LINDUNG GUNUNG BATU MESANGAT

Beberapa waktu terakhir, tim APE Guardian semakin sering menjumpai kembali orangutan yang telah dilepasliarkan. Munchan, orangutan janta translokasi, serta Mary dan Bonti, orangutan reintroduksi mulai aktif menampakkan diri di sekitar pos monitoring Busang. Dari perjumpaan yang terjadi, sebagian besar orangutan teramati sedang memakan buah dari salah satu jenis pohon yang umum dijumpai di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat. Buah Baran, begitu sebutan masyarakat lokal Busang bagi tumbuhan dengan nama latin Dracontomelon Dao.

Menurut literatur, daerah penyebaran ini meliputi India Timur, Kepulauan Andaman, China Selatan, Myanmar, Indo Cina, Thailand, Semenanjung Malaya, New Guinea, kepulauan Solomon, dan Indonesia. Di Indonesia ditemukan di beberapa tempat yaitu Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Pada beberapa daerah, Dacontomelon dao dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional. Pemanfaatan lokal di Papua Nugini, daun dan bunga dimasak kemudian dimakan sebagai sayur. Sedangkan di Maluku dipergunakan sebagai penyedap makanan. Kulit batang dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan disentri.

Baran merupakan pohon dengan kanopi besar yang selalu hijau, tinggi pohon dapat mencapai 36-55 m. Batangnya lurus dan silindris, tidak bercabang hingga ketinggian 15 m, dengan penampang akar di dasarnya. Kulit batang luar berwarna coklat keabu-abuan, kulit batang bagian dalam berwarna merah muda. Kulit kayu yang terluka memancarkan resin tidak berwarna yang sedikit lengket yang berubah menjadi emas pucat saat terkena udara. Memiliki daun majemuk yang menyirip, tersusun spiral disekitar cabang. Selebaran berurat menonjol, berselang-seling dan anak daun berjumlah 4-9 pasang. Pohon ini memiliki bunga majemuk malai berwarna putih kekuningan atau merah muda, kecil berukuran sekitar 9 mm, 5 lobus, harum, diproduksi dalam malai besar yang berjumbai hingga panjang 0,6 m. Buah tumbuhan Dracontomelon dao memiliki ciri-ciri morfologi berupa buah sejati tunggal, tipe buah batu, kulit buah berwarna hijau ketika masih muda dan kuning ketika sudah matang.

Orangutan biasa memakan bagian buah yang sudah matang dari Dracontomelon dao. Buahnya memiliki rasa sedikit manis ketika sudah matang. Selain untuk sumber pakan, pohon baran juga sering teramati dijadikan tempat membuat sarang bagi orangutan. Pohonnya yang tinggi serta batangnya yang besar memungkinkan untuk orangutan merasa nyaman dan aman berada di pohon tersebut. Status konservasi Dracontomelon dao dalam IUCN Red list termasuk dalam kategori Least Concern (LC). Namun populasinya sedang menurun akibat deforestrasi dan degradasi habitat. Upaya konservasi yang berkelanjutan sangat penting untuk melindungi habitat yang tersesi dan mencegah penurunan populasi. Menjaga pohon baran atau yang di daerah lain juga dikenal dengan nama sengkuang, sama dengan menjaga keberlangsungan hidup orangutan di habitat alaminya. (YUS)

BERTEMU TARA SETELAH SATU TAHUN BERLALU

Selalu menyenangkan berjumpa kembali dengan orangutan yang sudah lama tidak teramati di hutan. Hal ini terutama kami rasakan karena kemunculan mereka membuktikan bahwa orangutan yang kami lepas-liarkan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat dapat bertahan hidup. Siapakah orangutan yang kali ini kami temui?

Hari yang cerah di pos monitoring Busang, cuaca yang ideal untuk tim APE Guardian memulai kegiatan lebih pagi. Pada jadwal hari ini, waktunya kami berpatroli menyusuri Sungai Menyuq. Saat mentari mulai menampakkan sinarnya, teman-teman ranger sudah sedia dengan mesin perahu. Suara mesin memecah nyanyian alam, perahu melaju perlahan, 5 orang anggota tim APE Guardian pun menengok kanan dan kiri tepi sungai, barangkali terdapat tanda-tanda keberadaan orangutan.

Semakin lama waktu berjalan, kami semakin menjauh dari pos, belum satupun tanda-tanda teramati. Tim memutuskan untuk istirahat sebentar di muara Sungai Payau, memakan bekal yang dibawa sembari bercanda penuh harap perjumpaan dengan siapa pun orangutan yang menghuni ekosistem Busang ini. Tak jauh dari muara, kami menjumpai sarang orangutan kelas 2, artinya sarang tersebut masih belum lama dibuat. Kami menghentikan perahu dan mengamati sekitar, tak jauh dari lokasi sarang, salah satu tim kami melihat ranting-ranting jatuh seperti dilempar. “Kayaknya ada yang gerak-gerak di pohon seberang”, ujar Dedi, ranger tim APE Guardian COP. Kami pun mendekat ke pohon tersebut dan benar saja, terdapat satu orangutan jantan yang sedang makan buah Baran (Dracontomelon dao).

“Khas sekali, kiss squeak pun terdengar, tanda orangutan mengusir. Ditambah suara ranting dipatahkan berlanjut dengan lemparan ranting-ranting tersebut. Perilaku orangutan liar”, gumam tim sembari semakin mengamati orangutan tersebut. Cheekpad yang berlekuk pada sisi kanan wajahnya menjadi ciri khas orangutan jantan Tara, yang diselamatkan tim Wildlife Rescue Unit (WRU) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur bersama APE Crusader COP dari interaksi negatif dengan manusia di Kecamatan Bengalon. Sebelumnya Tara terlihat oleh masyarakat di pemukiman Desa Sepaso. Perangainya yang besar membuat masyarakat takut untuk berkebun. Akhirnya 28 April 2024, orangutan Tara ditranslokasi menuju rumah barunya, dan setelah setahun kami pun berjumpa kembali. Sekilas kondisinya terlihat sehat dan aktif mencari makan. Hari yang sangat beruntung dengan perjumpaan ini, rasa syukur ‘rumah’ ini baik untuk orangutan. (YUS)

JEJAK PAKAN, JEJAK HARAPAN

Hujan turun deras semalam, mengetuk permukaan sungai tanpa henti. Pagi itu, permukaan sungai meluap hingga menutup tepian pulau, arusnya lebih deras, warna sungai yang sebelumnya jernih berubah menjadi kecoklatan. Kami hanya bisa menunggu hingga sore, menanti air kembali surut, sebelum menyeberang ke pulau pra-pelepasliaran Dalwood Wylie atau Hagar. Di sanalah agenda hari ini menanti, mendata pohon-pohon pakan, sumber kehidupan bagi orangutan kandidat lepas liar.
Di bawah langit yang masih mendung, Tim APE Guardian bersama Hidayatul Latifah atau yang biasanya dipanggil Atul, staf KPHP Kelinjau sekaligus alumni COP School Batch 15 memulai pendataan. Pulau Hagar menyambut dengan deretan pohon bayur (Pterospermum bornease) yang menjulang dan ara (Ficus racemosa) yang buahnya menjadi santapan favorit satwa liar. Satu per satu pohon yang merupakan potensi sumber pakan diamati, ditandai menggunakan pita, dan dicatat jenisnya. Aktivitas ini mungkin tampak sederhana, namun di balik setiap data yang terkumpul tersimpan arti besar. Vegetasi bukan hanya pelengkap bagi kehidupan orangutan, melainkan fondasi yang menopang kelangsungan hidupnya. Keberadaan pohon pakan menjadi penentu utama apakah suatu hutan benar-benar bisa menjadi rumah bagi orangutan. Pepohonan boleh tumbuh rapat, namun tanpa sumber pakan yang cukup, orangutan takkan mampu hidup dan berkembang dengan baik di sana.
Pterospermum bornease) yang menjulang dan ara (Ficus racemosa) yang buahnya menjadi santapan favorit satwa liar. Satu per satu pohon yang merupakan potensi sumber pakan diamati, ditandai menggunakan pita, dan dicatat jenisnya. Aktivitas ini mungkin tampak sederhana, namun di balik setiap data yang terkumpul tersimpan arti besar. Vegetasi bukan hanya pelengkap bagi kehidupan orangutan, melainkan fondasi yang menopang kelangsungan hidupnya. Keberadaan pohon pakan menjadi penentu utama apakah suatu hutan benar-benar bisa menjadi rumah bagi orangutan. Pepohonan boleh tumbuh rapat, namun tanpa sumber pakan yang cukup, orangutan takkan mampu hidup dan berkembang dengan baik di sana. 

“Di Hagar, kami juga melihat langsung bagaimana Charlotte, salah satu orangutan di sini, memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk bertahan hidup,” tutur Ferryandi Saepurohman, kapten tim APE Guardian. “Mulai dari bayur (Pterospermum bornease), ara (Ficus racemosa), baran (Dracontomelon dao), bambu (Bambusa sp.), hingga kenanga (Cananga odorata). Bagian yang dimakan pun beragam, buah, bunga, daun, sampai kulit kayunya. Itu menunjukkan betapa pentingnya kekayaan vegetasi bagi orangutan.” 

Hari berikutnya, perjalanan membawa kami ke arah hilir, menuju pulau pra-pelepasliaran Lambeng. Perahu melaju tenang di permukaan sungai yang teduh, hingga akhirnya hamparan vegetasi pulau itu muncul di hadapan kami. Berbeda dengan di pulau Hagar, di pulau Lambeng pohon ara kembali mendominasi, berpadu dengan baran (Dracontomelon dao) yang batangnya kokoh dan buahnya lebat. Kombinasi ini menciptakan variasi pakan musiman yang berharga, memastikan orangutan memiliki pilihan makanan sepanjang tahun. 

Perbedaan dominasi pohon di kedua pulau ini menunjukkan betapa tiap habitat memiliki karakter uniknya sendiri. Di Hagar, keberadaan bayur yang menjulang memberi ruang berteduh sekaligus struktur hutan yang kokoh, sementara ara menyediakan buah sepanjang musim. Sedangkan di Lambeng, baran hadir sebagai tambahan penting yang memperkaya variasi sumber pakan. Perbedaan komposisi vegetasi ini menjadi penentu bagaimana orangutan beradaptasi terhadap masing-masing habitat, serta respon mereka terhadap pilihan sumber pakan yang tersedia.

Siang hari, dalam perjalanan pulang dari Lambeng menuju pos monitoring, kami mendapati sosok orangutan dewasa bertubuh besar sedang bersarang di pohon tepian sungai. Individu orangutan jantan, yang teridentifikasi bernama Munchan, muncul di sela dedaunan. Ia adalah individu hasil translokasi pada Januari 2024, kini tampak sehat dan lincah menjelajah wilayah barunya. Pertemuan itu menghadirkan rasa takjub, Munchan kini hidup dengan tenang, bersarang di tepian sungai yang asri dan jauh dari ancaman manusia, berbeda dengan lokasi asalnya yang rentan terhadap konflik antara orangutan dan manusia. 

Setiap pohon pakan yang kami catat adalah jejak harapan. Di hutan, pohon dan satwa tidak berdiri sendiri; mereka adalah simpul-simpul yang saling terkait dalam jaringan ekologi. Dan di tengah lembabnya udara sehabis hujan, naiknya permukaan sungai, serta kerja kecil yang dilakukan manusia, terbentang sebuah cerita besar tentang masa depan: bahwa menjaga satu pohon berarti menjaga banyak kehidupan bahwa melindungi satu orangutan berarti menjaga keseimbangan hutan. (RAF)