MONYET PUNK SULAWESI, IKON LIAR DARI UTARA

Pernahkah kalian mendengar tentang monyet punk Sulawesi? Dengan jambul khas di kepala, ekspresi wajah yang karismatik, dan gaya hidup sosial yang kuat, monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) atau Yaki, telah menjadi simbol alam liar Sulawesi Utara. Sayangnya, si “punk” hutan ini justru terancam punah di habitat aslinya akibat perburuan dan alih fungsi lahan. Meski begitu, berbagai upaya konservasi terus dilakukan untuk memastikan spesies endemik ini tetap bisa bertahan di tanah kelahirannya.

Dalam kelas bulanan Dating APES ke-6 yang berlangsung pada 11 Juli 2025, Centre for Orangutan Protection (COP mengangkat tema tentang Yaki dan menghadirkan Billy Gustafianto, manajer Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki sekaligus pengurus di Yayasan Masaran. Billy, alumni COP School Batch 11, membagikan pengalamannya dalam upaya pelestarian Yaki, baik dari sisi penyelamatan di lapangan hingga rehabilitasi di pusat penyelamatan. Forum ini digelar secara hybrid (daring melalui Zoom) dan luring bersama peserta yang hadir langsung.

Diskusi berlangsung interaktif dengan banyak pertanyaan dari peserta. Mayoritas penasaran tentang bagaimana penanganan konflik antara Yaki dan masyarakat, merujuk pada pengalaman konflik yang sering terjadi antara manusia dan monyet ekor panjang di berbagai daerah. Billy menjelaskan bahwa Yaki, sebagai satwa sosial yang hidup dalam kelompok, memiliki pendekatan rehabilitasi yang berbeda dibandingkan orangutan. Di PPS Tasikoki, Yaki direhabilitasi dalam kelompok dan nantinya juga dilepasliarkan secara berkelompok, agar mereka tetap memiliki struktur sosial alami yang penting untuk kelangsungan hidup mereka di alam bebas. Kelas ini menjadi ruang belajar yang memperluas perspektif peserta tentang konservasi primata Indonesia yang kaya dan penuh tantangan. (DIM)

Comments

comments

You may also like