PERTAMA KALI NAIK KETINTING

Kalimantan dikenal dengan sungai yang luas dan perahu sebagai transportasinya. Pernah dengan Sungai Kapuas? Ya… itu sungai paling panjang yang ada di Indonesia yang diketahui panjangnya sampai 1.143 kilometer dan ada di Kalimantan. Karena dimana-mana sungai, maka transportasi yang seringkali digunakan masyarakat adalah perahu yang disebut ‘ketinting’. Ketinting adalah perahu kayu dengan  ukuran kurang lebih panjangnya 11 meter dan lebar 60 sentimeter dengan mesin motor yang dipasang di buntut perahu, juga poros panjang dengan kipas yang bentuk dan fungsinya mirip seperti ekor dan sirip ikan untuk menggerakkan perahu. Ketinting ini dikemudikan seorang motoris yang terlatih untuk mengatur gas dari mesin motor dan menaik-turunkan serta mengarahkan poros panjang dari perahu. Satu perahu bisa dinaiki oleh 5-6 orang bersama dengan motoris dan disesuaikan dengan bawaan yang diangkut di atas perahu. Untuk keamanan, perlu dikira-kira banyaknya barang yang akan dibawa dengan pertimbangan jumlah penumpang.

“Hari itu, 12 Maret 2023 saya pertama kali naik perahu ketinting dengan tujuan ke Pos Monitoring Pulau Busang Hagar alias pergi mudik untuk ikut kegiatan pelatihan rescue orangutan sebagai bagian dari tim APE Guardian COP”, cerita Amin Indra Wahyuni, biologist Centre for Orangutan Protection. Mudik memiliki arti pergi ke hulu, sementara ke mudik disebut dengan hilir. Ketinting APE Guardian dengan motoris Tamen Lukas menyusuri Sungai Atan, Sungai Kelinjau, Sungai Penyit dan Sungai Menyuk. “Perjalanan menyusuri keempat sungai ini memakan waktu tiga jam. Sepanjang itu pula, saya disuguhi pemandangan yang baru pertama kali saya lihat. Burung air yang terbang ke sana kemari meminta difoto, mulai dari Kuntul perak. Trinil pantai, dan yang mengejutkan saya juga bertemu Kangkareng dalam perjalan pertama kali naik ketinting!”, tambah Amin penuh semangat. 

Vegetasi yang dilewati juga begitu variatif, kadang masih hutan dengan tumbuhannya dan kadang juga melewati ladang dengan tanamannya dan pondok-pondok milik orang yang berladang di tempat itu. “Orang-orang di sini memang berladang berpindah, saat merasa lahan sudah tidak produktif mereka berpindah tempat untuk membuat ladang baru”, jelas Galih Norma Ramadhan, kapten APE Guardian. Lantas bagaimana dengan ladang yang ditinggal, tanya saya. “Ladang ya ditinggal begitu saja. Nanti akan tumbuh ilalang, tumbuhan liar lain, pohon. Mereka tidak pakai pupuk”. Sangat masuk akal, saya pernah belajar bahwa tanah yang baru dibuka itu memanglah subur, bahkan ada cara alami mengembalikan lapisan atas tanah yang rusak yaitu membiarkan ilalang tumbuh di atasnya.

Air sungai membentuk gelombang setelah dibelah perahu yang kami naiki. Mesin motor memang sebegitu kuatnya melawan arus sungai. Kadang-kadang saya merasa tenang, kadang juga merasa takut karena jujur saja saya tidak bisa berenang, oleh karena itu saya kenakan pelampung untuk keamanan. Sampai setengah perjalanan, kami menabrak sebuah kayu yang tidak tampak wujudnya dari permukaan air. Saya reflek memegang kayu yang ada di lambung perahu sambil menyebut nama Tuhan. Penumpang lain tampak santai saja, terutama motorisnya yang masih necis memakai kacamata hitam dan memandang jauh melihat sungai di depan yang seperti jalan raya tanpa rabu-rabu. Saya saja sepertinya yang merasa jantungan.

Perjalanan berlanjut. Saya melihat pemandangan baru. Jika diperhatikan, pinggiran sungai yang bertabrakan dengan dinding tebing membentuk sebuah pola bergaris-garis, seperti seakan-akan sungai ini dibangun dengan semen. Batuannya terbentuk berpola mungkin karena arus sungai setiap hari dan saya terkagum memikirkan berapa lama pola itu bisa muncul di atas batu yang dilawan air. Ketika perjalanan hampir selesai, sekitar 15-20 menit lagi, perahu kami menyenggol kayu betulan yang terlihat di atas permukaan air. Motoris sudah mengambil arah dari kanan dan agak ke pinggir untuk menghindari kayu itu tapi sayangnya tetap tertabrak. Perahu terguncang, berbelok ke kiri hampir memutar, motoris kami sudah tidak lagi di perahu, saya tiak sempat lihat apakah terpelanting atau terlompat menghindari poros panjang. Tau-tau sudah di air dan kacamata hitam kerennya sudah terlepas. Kami yang di atas perahu cukup panik, apalagi saya. Galih reflek bangun dan mencoba memegangi poros, mematikan gas. Randy berusaha memegangi kayu yang ada di depan mata supaya perahu bertahan dan tidak ikut bergerak bersama arus sungai. Saya ber-dzikir sambil ikut mencari kayu yang bisa digapai juga. Ulang Njau setelah sadar keadaan perahu, lari ke belakang untuk mengambil alih kemudi. Perahu kembali digerakkan ke pinggir dan kami selamat. Setelah perahu dapat dikendalikan, semua menghela napas, juga tertawa tipis-tipis, kecuali saya. Saya masih gemetaran dengan kejadian pertama kali naik ketinting ini. Perjalanan kami berlanjut sampai ke hulu, bertemu tim APE Guardian yang lain dengan jamuan olahan ikan segar. (MIN)

Comments

comments

You may also like