COP KUNJUNGI SMAN 2 LUBUK SIKAPING

“Sikut Ketemu Lutut”, begitulah tim APE Protector COP memulai interaksi dengan anak-anak SMAN 2 Lubuk Sikaping, Sumatra Barat pada 24 April 2024 yang lalu. Sikutmu akan bersentuhan dengan lutut temanmu. Ini adalah pemanasan fisik dan konsentrasi para siswa-siswi kelas 10 yang berjumlah 30 orang. Selama 90 menit ke depan, mereka akan mengenal Centre for Orangutan Protection dan perlindungan Harimau Sumatra.

Harimau Sumatra sebagai predator puncak punya peran penting dalam ekosistem dalam penjelasan Putri Utami Saryanti Caesaria, mahasiswa master Ecology, Evolution and Conservation dari Universitas Potsdam yang disampaikan dengan santai. Putri sendiri adalah relawan COP yang tertarik dengan kegiatan Centre for Orangutan Protection yang seharusnya magang di Kalimantan, namun karena baru saja mengalami kecelakaan, akhirnya lokasi magang dialihkan ke Sumatra Barat.

Kegiatan dilanjutkan dengan pengenalan Ruang Informasi Harimau Sumatra (RIHAS) yang bisa dikunjungi secara umum dan video singkat tentang kondisi habitat satwa liar secara umum. School visit pun diakhiri dengan permainan “Tali Habitat” di luar ruang kelas yang menggambarkan semakin tergerusnya luasan hutan yang menjadi habitat satwa liar maka semakin sedikit pula satwa yang bertahan dari kepunahan. Seiring dengan mengecilnya lingkaran tali sebagai representasi habitat, semakin besar persaingan antar satwa untuk mendapatkan tempat tinggal. “Lalu bisakah kita hidup berdampingan?”. (VID)

KARTINI COP UNTUK ORANGUTAN INDONESIA

75% dokter hewan di Centre for Orangutan Protection (COP) adalah perempuan. Perempuan-perempuan yang mendapat kesempatan belajar setinggi yang diinginkannya karena perjuangan ibu RA Kartini dan perempuan-perempuan terdahulu yang mengedepankan pendidikan sebagai pintu gerbang pengetahuan dan peran penting perempuan dalam kehidupan tanpa terikat tradisi maupun budaya yang membatasinya. Mereka adalah drh. Theresia Tineti, drh. Elise Ballo, drh. Tetri Regilya, dan drh. Rizki Widiyanti.

Posisi penting di COP juga diisi oleh perempuan-perempuan berlatar pendidikan master dan sarjana di bidang studi Biologi, Kehutanan, Ilmu Komunikasi, Geografi, Peternakan, Ilmu Ekonomi, hingga vokasi keperawatan. Mereka lahir dari keluarga yang mendukung perempuan berhak mendapatkan pendidikan dan bisa berkarier di dunia kerja khususnya konservasi. Mereka adalah perempuan-perempuan yang meninggalkan zona nyaman dalam keluarganya. Mereka merantau, meninggalkan tanah kelahirannya, keluarga yang menyayanginya, untuk bertemu teman dan keluarga yang baru sebagai rekan kerja.

Perempuan di COP berkerja secara profesional dan terus mengaktualisasikan dirinya. Ilmu terus berkembang seiring permasalahan yang harus ditemukan jalan keluarnya. Terima kasih ibu kita Kartini. Terima kasih perjuangan perempuan-perempuan terdahulu yang membuka jalan pendidikan ini. Lihatlah kartini-kartini COP berkarier.

TELUR SEMPIDAN BIRU DIMAKAN BERUK

Awal Maret 2024, di tengah rimbunnya hutan, terdapat 6 butir telur di atas serasah yang tersembunyi di antara banir/akar papan milik sebuah pohon yang berada di lokasi sekolah hutan. Telur-telur ini pertama kali ditemukan Saras (animal keeper) saat sedang membawa orangutan Popi. “Aw ada telur”, kata Saras saat pertama kali melihatnya. Saya kemudian mengecek lokasi telur sebut, sambil kemudian cukup kerepotan untuk menghalau orangutan Popi dan Jojo yang juga telah melihat telur tersebut. Mereka terlihat sangat tertarik untuk memakan telur-telur itu.

Sepulang dari kegiatan Sekolah Hutan, saya berangkat kembali dari camp BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) menuju lokasi penemuan telur tersebut dengan membawa camera trap (kamera jebak), berharap dapat merekam detik-detik menetasnya telur-telur tersebut dengan menggunakan camera trap.

Hari demi hari, kamera tersebut setia merekam segala aktivitas yang terjadi di sekitar sarang burung yang teridentifikasi merupakan burung sempidan biru kalimantan (Lophura ignita).Kamera itu tidak hanya menjadi saksi biru perjalanan hidup yang akan segera bermula dari dalam cangkak telur, tetapi juga interaksi dinamis ekosistem hutan. Sang induk sempidan biru beberapa kali terekam bolak-balik keluar masuk sarang selama masa pengeraman telur.

Namun alam selalu memiliki ceritanya sendiri, tidak selalu seperti yang kita harapkan. Setelah kurang lebih dua minggu sejak pemasangan kamera jebak, suatu pagi terjadi peristiwa yang tak terduga. Seekor beruk (Macaca nemestrina) berukuran besar dan berjenis kelamin jantan mendekati sarang dengan gerakan yang tenang namun pasti. Dengan keahlian mencari makannya, beruk itu memeriksa sarang sempidan biru yang sedang ditinggalkan oleh induknya. Telur-telur itu kemudian menjadi sarapan sang beruk. Dua buah camera trap berhasil merekam detik-detik tersebut secara jarak dekat dan jauh.

Meskipun kejadian ini di luar harapan, tetapi saya sadar bahwa ini adalah bagian dari siklus kehidupan di alam liar. Rekaman ini tidak hanya menjadi dokumentasi tentang kegagalan menetasnya telur burung tersebut, tapi juga pelajaran berharga tentang realitas alam yang tidak selalu berjalan sesuai harapan kita. Pengalaman ini menjadi pelajaran untuk memahami dan menghargai dinamika kehidupan liar di hutan, serta nilai penting setiap makhluk dalam menjaga keseimbangan alam. (RAF)