OWI’S DIARY Part I

My name is Owi, I realized it since every time they wanted to give me fruits or asked me to play, they always said that word and I became familiar with the word. It has been almost one year since I was away from home, its colour, its smell, its exuberance, its hustle, its silence; and during that time I have been apart from my mother.

At that time, my vision was still poor and I was always stuck on her chest, before someday in the afternoon a small boom shocked us, right after a flash of light from below, from something that was held by a creature standing on two legs instead of climbing tree, he stayed on the ground.  It was so quick, in a sudden I felt my mother wobbled. Her grip on the tree branches weakened, staggered and slowly slumped before falling to the ground. Fresh red blood flowed from my mother’s chest, just one knuckle from my head. Her heartbeats were getting weaker, her body was getting cold, her face was pale. He tried hard to look at me and say one or two words, but she could not. Tears flowed slowly on her cheeks before mother did not move at all. I just shivered in my helplessness.

The creatures moved slowly approaching us, his steps were voiced by leaves and small twigs crushed by his feet which seemed have no fingers, something seemed to cover and weigh them. He took me, lifted my body, drowned me in his arms and took me away, stepped away from my mother after telling her friend to take care of my mother’s body. I cried, simply because I didn’t understand. At that time, I had no idea at all that that’s going to be my last time I saw my mother and felt her warm caress. (MBO)

CATATAN HARIAN OWI bagian 1

Namaku Owi, aku menyadarinya sejak setiap mereka ingin memberiku buah-buahan atau mengajakku bermain, mereka selalu mengucapkan kata itu dan aku pun menjadi akrab dengan kata itu. Sudah hampir satu tahun aku merasa jauh dari rumah, warnanya, bebauannya, kerimbunannya, keramaiannya serta kesenyapannya, dan selama itu pula aku berpisah dengan Ibu.

Waktu itu mataku masih remang untuk sanggup melihat dan aku masih selalu menempel pada dadanya, sebelum pada suatu sore suara dentuman mengagetkan kami, tepat setelah kilatan cahaya kecil dari bawah, dari sesuatu yang dipegang suatu makhluk yang berdiri dengan dua kakinya dan bukannya memanjat pohon, dia malah di tanah. Kejadian itu seperti kilat, seketika aku merasakan tubuh Ibu goyah, pegangannya terhadap cabang pohon melemah, terhuyung dan perlahan menggelosor sebelum akhirnya jatuh ke permukaan tanah. Cairan merah segar mengalir deras dari dada Ibu, hanya berjarak satu ruas jari dari kepalaku berada. Detak di dadanya semakin melemah, badannya terasa semakin dingin, sayup-sayup wajahnya kosong dan pucat. Tampak dia berusaha keras menatapku dan mengucapkan satu dua kata, namun tak sanggup. Air mata mengalir pelan menjadi ngarai-ngarai kecil pada pipinya sebelum Ibu tidak bergerak sama sekali. Aku hanya menggigil diam dalam ketidakberdayaanku.

Langkah makhluk itu perlahan mendekat, disuarakan oleh daun dan ranting kecil yang remuk oleh pijak kakinya yang nampak tidak berjari, sepertinya sesuatu menyelimuti serta membebani kaki berdirinya. Dia mengambilku, mengangkat tubuh kecilku, menenggelamkanku dalam pelukannya dan membawaku pergi, melangkah menjauhi Ibu setelah menyuruh sebangsanya mengurus tubuh itu. Aku menangis di antara sejenak, hanya karena tidak paham. Sama sekali pada waktu itu tidak ada pikiran bahwa hari itu adalah terakhir kalinya aku melihat Ibuku dan hari terakhir aku merasakan hangat peluknya. (MBO)

Comments

comments

You may also like