
HARUSKAH KITA MEMILIKI?
Memiliki hewan peliharaan memang kadang menjadi kesenangan tersendiri. Terutama bagi orang-orang yang sejak kecil dikenalkan dengan berbagai macam binatang sebagai peliharaan. Kesenangan ini tentunya terbawa hingga dewasa dan menjadi salah satu bagian yang melengkapi hidup. Beberapa laporan dan penelitian pun menyebutkan bahwa orang-orang yang memiliki anjing atau kucing biasanya memiiki hidup yang lebih teratur, mood yang lebih positif dan kepuasan hidup yang tinggi.
Namun hal ini belum terbukti pada orang-orang yang memilih satwa liar sebagai peliharaan. Selain karena memelihara satwa liar memiliki banyak resiko, proses mendapatkannya pun tidak mudah, belum lagi biaya perawatan yang tergolong jauh lebih mahal daripada memelihara satwa domestik. Diperparah dengan adanya oknum-oknum yang akhirnya menjadikan satwa liar bahkan satwa dilindungi sebagai objek untuk mendapat keuntungan, tanpa mengindahkan lagi persoalan kesejahteraan satwa.
Negara sebenarnya telah mengatur mengenai kepemilikan satwa liar ini pada UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena menyadari bahwa bila hal ini dibiarkan, satwa liar di alam bisa semakin terksploitasi dan punah. Maka negara melarang jual-beli dan kepemilikan satwa-satwa dilindungi dalam keadaan hidup atau mati dalam bentuk utuh atau hanya bagian-bagian tubuh.
Meski ada influencer atau public figure yang mengatakan bahwa satwa liar yang dimilikinya berasal dari penangkaran resmi, tetap saja kita tidak bisa menjamin bahwa para pengikut atau follower mereka akan berusaha mendapatkannya dengan jalan yang sama karena prosesnya yang sulit dan mahal. Hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan dan menjadi kesempatan bagi para pemburu atau oknum pedagang untuk mencari keuntungan dengan menawarkan satwa liar yang didapatkannya secara ilegal dengan harga lebih murah dan cepat. Bahkan pandemi global COVID-19 tidak bisa menghentikan penyeludupan satwa liar dilindungi.
Kasus yang baru terjadi yaitu pada 6 Mei 2020 lalu, Balai Penegakkan Hukum (Gakkum) KLHK Sumatera menyita dan mengamankan 1.266 ekor burung pleci yang diangkut menuju Medan tanpa dilengkapi surat-surat. Burung-burung ini dibawa dalama 30 kardus dan 556 ditemukan sudah mati dan 710 masih hidup. Beginilah nasib satwa-satwa liar bila sudah dianggap sebagai komoditas dan tak lain sebagai ‘barang dagangan’. Padahal mereka adalah makhluk hidup yang juga bisa merasa lapar haus, sakit dan menderita.
Kita sebagai manusia seharusnya juga memiliki etika dalam memelihara bahkan dalam memelihara satwa domestik sekalipun. Bila kita benar-benar mencintai mereka, kita tidak akan sampai hati untuk melihat mereka menderita. Maka berpikirlah berulang kali sebelum kita berkomitmen untuk memelihara satwa. Apakah ini hanya untuk kesenangan kita sendiri atau benar-benar untuk kebaikan mereka. Karena pada dasarnya mencintai tidak selalu harus memiliki. (LIA)