
TANGIS TANPA MASA DEPAN ELANG
Jujur, kondisi otak dan hati saya dan teman-teman yang bergerak diurusan satwa liar saat sekarang sudah terbiasa dengan darah, luka penuh belatung, peluru di dalam mata, patah tulang dan mayat satwa karena ulah manusia. Menjiikkan, bikin muntah dan pusing. Dan air mata kami sudah habis untuk itu. Kebal.
Malam itu, setelah perjalanan panjang kurang lebih 28 jam dari Malang, Jawa Timur menuju Pusat Konservasi Elang Kamojang (PKEK) di Garut, Jawa Barat. Perjalanan sangat padat karena hari itu adalah hari terakhir libur sekolah. Sangat melelahkan. Bahkan 5 jam sebelum sampai lokasi, saya sudah tidak mau melihat keluar jendela mobil karena sudah pusing dengan perjalanan panjang ini. Elang yang di dalam kotak angkut juga sudah sangat muak dan mungkin sudah berdoa, “Matikan aku Tuhan! Sekarang!”.
Tim APE Warrior Centre for Orangutan Protection sehari sebelumnya bersama dengan Balai Gakkum KLHK Jawa Timur melakukan operasi tangkap tangan dua orang pedagang elang terkenal dan sangat susah dilacak. Operasi dengan barang bukti semuanya elang berjumlah 15 ekor dengan berbagai jenis elang. Elang tetap elang, apapun jenisnya tetap predator yang dilindungi. Karena semua jenis elang dilindungi Undang-Undang.
dari 15 elang saat itu ada 3 ekor elang yang masih sangat bayi. Saya kira saat itu mungkin sudah lebih 1 bulan umurnya. Ternyata kata kang Zaini dan drg. Dian dari PKEK, elang itu baru berusia 1-2 minggu. Bayangkan bayi elang yang baru menetas sudah diambil dari sarang pemburu hanya untuk duit. Mungkin dia sudah melakukan breeding? Ahhrrrggg… belum ada pemilik elang yang mengaku penyayang satwa yang berani membuktikan bahwa dia sudah berhasil menetaskan telur secara ilmiah. Kenapa pemburu tega melakukan itu? Ini semua hanya karena uang. Ada permintaan dari orang yang mengaku penyayang binatang. Teori ekonomi berlaku. Dipelihara dalam kurungan atau diikat dengan tenggeran besi yang berat.
Malam itu, satu per satu kotak berisi elang kami buka bersama dengan manajer PKEK, kang Zaini dan drh. Dian. Satu per satu pula kami periksa dari yang paling besar hingga bayi-bayi elang. Semua orang di ruangan hebing. Seperti terhipnotis. Bagi dua orang ini, melihat bayi elang adalah jalan yang sangat panjang, panjang dan panjang sekali dengan akhir yang belum jelas juga apakah bisa bertahan hidup, apakah bisa direhabilitasi dan apakah bisa dilepas lagi. Rehabilitasi adalah proses yang panjang.
Lelah, muak dan hilangnya semangat saya kembali muncul kala melihat sepersekian detik, drh. Dian terdiam, kemudian berpegangan di tembok dan menyeka air matanya yang keluar. Buat saya, itu adalah tangis yang menyesakkan. Tangis sedihnya karena harus menerima lagi, lagi dan lagi elang dengan kondisi sangat bayi dari dunia perdagangan ilegal. Saya bersemangat karena masih ada petarung di garis depan mengurus elang dengan ati. Tangis itu keluar murni dari hati.
Semua terjadi hanya karena ulah orang yang berduit… ingin gagahpgagahan memiliki elang. Gengsi akan naik jika punya elang Jawa yang sudah hampir punah. Semakin diperparah dengan beredarnya foto selebriti dengan elang. Ti kreatif yang mempunyai ide itu pasti punya sejuta alasan saat ini. Tapi mohon sekali saja menghormati perjuangan para orang-orang yang bergerak di garis depan menyelamatkan satwa liar. Sekali saja! Jangan pakai otak tapi pakai hati. (DAN)