TAK DIBERI PISANG, POPI NEKAT PANEN PISANG SENDIRI

Pisang sering digambarkan sebagai buah favorit sebagian besar primata. Primata seperti monyet, gorilla, simanse, owa hingga orangutan sangat sering diidentikan sebagai hewan penyuka pisang. Walaupun stereotip ini tidak sepenuhnya benar karena di alam liar orangutan memiliki ratusan jenis pilihan pakan yang terdiri dari beragam jenis buah, daun, bunga dan bagian tumbuhan lain hingga serangga. Namun sebagian besar orangutan yang ada di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) memang sangat menyukai buah pisang. Hal ini karena buah pisang memiliki rasa yang manis serta tektur yang lembut.

Begitu pula dengan orangutan Popi, ia sangat menyukai pisang. Namun pada sekolah hutan kali ini, perawat satwa tidak membawa pisang karena kombinasi jenis pakan yang diberikan untuk para orangutan di BORA harus beragam dan bervariasi setiap harinya untuk memenuhi kecukupan gizi orangutan.

Setelah cukup lama beraktivitas dan menjelajahi ketinggian pohon, Popi nampaknya mulai lapar dan turun mendekati perawat satwa untuk meminta buah. Hanya buah terong yang diberikan, tidak ada buah-buahan manis seperti pisang yang diberikan perawat satwa.Hal ini dilakukan untuk mendorong orangutan mencari pakan alami di lokasi sekolah hutan.

Kecewa tidak diberi pisang, Popi berjalan pergi meninggalkan  perawat satwa, mengarah menuju pulang. Popi berjalan menyebrangi anak sungai kecil yang sedang surut. “Popi, Popi…”, panggil perawat satwa Bima yang menyangka Popi sudah ingin pulang. Setelah diikuti, ternyata Popi sedang memanjat pohon pisang yang saat itu sudah berbuah. Disana Popi memanen buah pisang dan langsung memakannya. Walaupun belum matang, namun ia terlihat puas dengan hasil panennya. Tidak lama kemudian orangutan Jojo mengikuti Popi lalu makan pisang bersama. (RAF)

BURUNG LUNTUR PUTRI DILINDUNGI, MARI KITA JAGA

Ada 9 spesies dari keluarga burung Trogonidae di Indonesia. Salah satunya tertangkap kamera Hilman, tim APE Crusader yang sedang beristirahat di Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA) tepatnya KHDTK Labanan, Berau Kalimantan Timur. Burung Luntur Putih dengan nama latin Herpactes duvaucelii adalah satu dari sembilan jenis yang masuk dalam keluarga Trogonidae dan berada dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan P.106/MENLHK/SETJEN?KUM.1/12/2018. “Beruntung sekali bisa mengabadikan Luntur Putri ini sebelum dia terbang dan menghilang di cabang pohon yang lain”, ujar Hilman Fauzi.

Luntur Putri memiliki ukuran tubuh yang agak kecil (23 cm), memiliki perbedaan antara jantan dan betina. Pejantannya memiliki ciri kepala berwarna hitam, perut merah tua, punggung cokelat muda. Sedangkan betinanya kepala berwarna merah, dada cokelat dan perut jinga. Untuk membedakan dengan jenis burung luntur lainnya dari Luntur Putri ini dapat dilihat pada bagian atas mata atau kulit sekitar mata berwarna biru, paruh biru dan kaki kebiruan.

Persebarannya sendiri hanya dapat dijumpai pada Semenanjung Malaysia, Sumatra dan Kalimantan. Dapat ditemukan pada hutan primer dataran rendah dan hutan bekas tebangan hingga ketinggian 1.065 mdpl. Perkembangbiakannya pada bulan Februari hingga Juni dan biasanya bertelur hingga 2 butir. “Jaga yuk! Burung lebih indah di habitatnya”, ajak Himan. (HIL)

MELIHAT PARA GUARDIAN BUSANG DARI DEKAT

Kawasan pelepasliaran orangutan di Busang, Kalimantan Timur merupakan wilayah Centre for Orangutan Protection (COP) bekerja untuk pelestarian orangutan dan habitatnya. Saat ini ada 3 orangutan yang telah dipindahkan ke Busang, yakni 2 individu orangutan bernama Ucokwati dan Mungil di pulau pra-pelepasliaran Dalwood Wylie serta orangutan Nigel yang dilepasliarkan di Hutan Sungai Payau. 

APE Guardian pun membagi dua pekerjaan besar di Busang sebagai tim monitoring orangutan di pulau dan tim ranger atau penjaga hutan yang patroli dan memantau orangutan yang telah dilepasliarkan. Pemantauan orangutan pasca rilis merupakan bentuk komitmen dan pelaksanaan kata-kata agenda konservasi yang dilakukan secara holistik dari hulu ke hilir sejak dilakukan rescue, rehabilitation dan release bahkan setelahnya. Keberadaan ranger yang menjadi garda terdepan pelestarian orangutan di habitat barunya menjadi esensial.

Para ranger merupakan warga Busang dengan berbagai latar belakang dan pemahaman medan yang berbeda serta pengetahuan lokal yang bervariasi. Ada yang pernah bekerja sebagai pembuka lahan berpindah, logging, pendulang emas, pemburu dan berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alam lainnya. Sederetan kegiatan ekonomi tersebut tentu menjadi ladang baru yang menjanjikan secara ekonomi, namun belum tentu untuk keberlanjutan hidup dan harmoni antara masyarakat dengan lingkungan hidupnya.

Banjir, kebakaran hutan, hilangnya sumber daya hutan, kelangkaan sumber pangan alami, hilangnya keanekaragaman hayati yang terjadi mungkin bisa menjadi pengingat yang sulit dihiraukan. Sialnya rusaknya habitat dan berbagai dampak yang merasakan langsung adalah masyarakat yang telah beberapa generasi hidup dan mencari hidup di sekitarnya, termasuk dalam hal ini masyarakat Busang.

Kegiatan pelestarian orangutan dan habitatnya akan terdengar muluk untuk dapat menggeser pola ekonomi yang sudah ada. Ranger yang ikut andil melakukan patroli hutan, mengamati perilaku dan adaptasi orangutan serta membantu kegiatan penelitian biodiversitas dan ekosistem Busang mungkin bisa menjadi alternatif baru kegiatan masyarakat. Hal tersebut harus dipupuk untuk menumbuhkan imajinasi dan harapan atas peluang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih berkesinambungan. Bahwa tidak perlu menunggu hutan habis ditebang atau tanah habis dikeruk untuk tetap bisa melanjutkan hidup dan menghidupi masyarakat.

Kehadiran ranger menjadi penting untuk menjembatani pola komunikasi efektif dalam menyampaikan gagasan alternatif di atas. Berbicara dengan bahasa yang masyarakat mengerti menjadi tumpuan agar efek domino kegiatan pelepasliaran orangutan dapat dimengerti dan dirasakan. Saat ini masyarakat Busang tidak hanya mendukung secara anggukan dan perkataan, namun seringkali di tengah belantara juga ikut menyempatkan memberi laporan keberadaan orangutan. Hal tersebut menjadi sinyal positif keterlibatan aktif dan support moral atas kegiatan yang dilakukan, utamanya mitigasi konflik dan manajemen konflik yang terjadi. Tidak jarang orangutan engan daya jelajah yang tidak terprediksi akan singgah di pondok dan ladang masyarakat, upaya patroli dan mediasi yang dilakukan oleh ranger APE Guardian merupakan bentuk tanggungjawab dan juga menjaga rasa aman masyarakat.

Jalan panjang agar warga Busang dapat berdaya mengelola lingkungan hidup dan sumber daya secara berkesinambungan yang tidak eksploitatif bisa jadi mendapat inspirasi oleh tim ranger itu sendiri. Mereka yang hajat hidupnya tergantung dari bagaimana pengelolaan sumber daya dilakukan tentu harus menjadi beneficiary utama. Potensi lokasi pelepasliaran Busang menjadi gerbang bagi keekonomian baru, bahwa orangutan, habitat dan manusia bisa hidup berdampingan.

Ranger sebagai tim taktis yang ada di lapangan bekerja dari sudut paling jauh di Kawasan Pelepasliaran Busang dan sering kali dengan sumber daya yang terbatas. Namun hal tersebut sudah menjadi kepastian, sebagaimana punggungan dan anak sungai yang harus dipikirkan dan dicari alternatif jalan memutar untuk dilewati, tantangan di lapangan bisa diatasi dengan keteguhan kreatifitas. Lebih dari itu, kerja-kerja pelestarian orangutan dan ekosistem tidak hanya untuk masyarakat Busang dan sekitarnya semata, namun lebih jauh lagi merupakan upaya kolektif dalam mengusahakan kelestarian satwa liar khususnya orangutan, keberlanjutan bumi dan menghadapi tantangan iklim yang mengancam kita semua. (GAL)