SEPTI BERBAGI KANDANG DENGAN POPI

Usaha memasukkan Popi ke kandang sosialisasi bersama orangutan kecil lainnya tak berhasil. Popi di-bully oleh orangutan lainnya. Ditarik-tarik lalu digigit, dan Popi terus menerus tidak bisa membela diri. Tubuh Popi memang sangat kecil dibanding orangutan lainnya. Mungkin Popi juga terlalu manja karena Popi sedari masih bayi sudah mengenal manusia.

Saat bayi Popi baru tiba di COP Borneo, September 2017 yang lalu, Popi tinggal di klinik. Keranjang dengan selimutlah yang menjadi tempat tidurnya. Popi pun tumbuh dan semakin banyak keinginan, Popi pun dipindahkan ke kandang yang berada di belakang klinik COP Borneo. Hingga akhirnya Popi sudah mulai mencoba kekuatannya. “Kandang yang berada di belakang klinik tidak cukup kuat, itulah sebabnya dia dipindahkan ke kandang sosialisasi, bergabung bersama orangutan kecil lainnya. Sayangnya, Owi, Bonti bahkan Happi menarik-nariknya, bahkan menggigitnya. Popi pun menjerit-jerit. Hingga akhirnya kami mencoba memperkenalkan Popi pada Septi. Syukurlah, Septi bisa menerima Popi.”, ujar Reza Kurniawan, manajer COP Borneo.

“Popi sempat menangis ketika Septi mendekat. Dia terlihat ketakutan, namun Septi segera mencium Popi dan dengan seketika tangis Popi hilang. Sungguh saat yang mengharukan. Rasa takut kami pun sirna dengan seketika. Septi bisa menerima Popi dan Popi merasa nyaman.”, tambah Wety Rupiana, baby sitter Popi selama ini.

Kini, sudah satu bulan Septi berbagi tempat tidur dengan Popi. Tak hanya tempat tidur, makanan pun selalu dibagi Septi. Tak ada lagi yang harus kami kawatirkan. Terimakasih Septi. (WET)

THE PAIN OF POPI IN 24 HOURS STORYTELLING FESTIVAL

Apparently, Saturday, March 24, 2018 was world storytelling day. Really, I didn’t know. What i knew was, i was invited to a forum of literation activist (FPL) by my old friend in reading and writing community in Padang city. Hoping there would be a cooperation in campaign of wildlife protection and its habitat by educating children, I was going with other Padang Orangufriends. And suprisingly, there was a big event in Kampung Literasi Gang Aster of Padang Panjang city and the local government with the title of 24 Hours Storytelling Festival.

After filling the guest book, we tried to blend in even it was awkward. It’s amazing how Padang Panjang citizen appreciated this event. Participants who became storyteller were many, ranging from children to adults. The audience was large though. Shortly thereafter, a friend who invited me came and told me directly to storytelling without asking. I stammered, “What? Storytelling?”. This was a new thing and i had not done that before especially in public. Except for storytelling for my own child at night.

My mind grews uneasy. It’s a challenge. But I was not ready. As I chatted, I kept thinking what the story would be. Finally my memories recalled Lara Pongo movie that was I watched during Jambore Orangufriends Yogyakarta last year. Storytelling is one of the most effective methods to educate children. With this method, the message would be delivered properly. Children’s ability to remember is also longer on fairy tales material. Uh yes.. I was reminded of my childhood that every night my mom and my dad often told me stories and i still remember the story that ever told.

Armed with my experience being a volunteer at COP Borneo’s orangutan rehabilitation center, I therefore told a story about the poor Popi. Popi, who was forced to enter rehabilitation center at the age of 1 month because her mother died of being killed. Every now and then I tried to interact with the audience. I couldn’t believe, the kindergarden children could answer the question I asked with surprising answers. Apparently, they realized the natural damage that had occured.

30 minutes became so short. And this was an opening to another wildlife story that I would deliver through the next school visit, along with literacy activist forum of Padang city of course. (Novi_Orangufriends Padang)

LARA SI POPI DI FESTIVAL MENDONGENG 24 JAM
Ternyata, Sabtu, 24 Maret 2018 yang lalu adalah Hari Mendongeng Dunia. Sungguh, aku tak tahu. Yang ku tahu, aku diundang oleh sahabat lama di komunitas Membaca dan Menulis yaitu Forum Pegiat Literasi (FPL) di kota Padang Panjang. Berharap ada kerja bersama untuk kampanye perlindungan satwa liar dan habitatnya lewat edukasi ke anak-anak, aku pun datang bersama Orangufriends Padang lainnya. Dan kagetnya, ternyata ada even besar di Kampung Literasi Gang Aster kota Padang Panjang dan pemerintah setempat dengan tajuk Festival Mendongeng 24 Jam.

Usai mengisi buku tamu, kami pun mencoba untuk membaur walau canggung. Luar biasa apresiasi warga kota Padang Panjang pada acara ini. Peserta yang menjadi pendongeng pun banyak mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penonton yang hadir pun tak kalah banyak. Tak lama kemudian, teman yang mengundangku pun muncul dan tanpa bertanya langsung menyuruhku untuk mendongeng. Dengan gelagapan aku menjawab, “Apa? mendongeng?”. Ini adalah hal yang baru dan belum pernah kulakukan sebelumnya apalagi di depan umum. Kalau mendongeng sebelum anak tidur sih memang sering kulakukan di rumah.

Pikiranku semakin tak tenang. Ini sih tantangan. Tapi ngak siap. Sambil ngobrol, aku terus berpikir mencari ide akan mendongeng apa. Akhirnya ingatanku menyangkut di film Lara Pongo yang pernah kutonton di Jambore Orangufriends Yogyakarta akhir tahun lalu. Mendongeng adalah salah satu metode edukasi yang paling efektif untuk anak-anak. Lewat metode ini, pesan akan tersampaikan dengan baik. Kemampuan mengingat anak juga lebih lama pada materi dongeng tersebut. Ah iya… aku jadi teringat masa kanak-kanakku yang setiap malam sering didongengkan Mama dan Papa dan aku masih mengingat kisah yang pernah didongengkan.

Berbekal pengalaman menjadi relawan pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, aku pun berkisah tentang Popi yang malang. Popi yang terpaksa masuk pusat rehabilitasi saat usianya 1 bulan, karena induknya mati dibunuh. Sesekali aku mencoba berinteraksi dengan penonton. Tak kusangka, anak-anak TK bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan dengan jawaban yang mengejutkan. Ternyata mereka menyadari kerusakan alam yang terjadi.

30 menit menjadi begitu singkat. Dan ini adalah pembuka untuk kisah-kisah dongeng tentang satwa liar lainnya yang akan ku sampaikan lewat kegiatan school visit selanjutnya, bersama Forum Pegiat Literasi kota Padang Panjang tentunya. (Novi_Orangufriends Padang)

A MONTH WITH ANNIE AT COP BORNEO

This is Annie. The new orangutan male entered the COP Borneo orangutan rehabilitation center on March 11, 2018. He isn’t more than 4 years old. He lives with people in Merapun village. Inside the 3 × 3 m, this cage of wood became his home.

Three years of living with humans has changed his behavior and his present nature. Ever since childhood, Annie had to live without his mother’s affection. When viewed from outside physical conditions, Annie looks fine, in terms of not skinny.

First time entering the quarantine cage at COP Borneo, Annie looks confused. Annie often sounded loud like shouting during the daytime. During a month of watching Annie, Annie is a very spoiled orangutan. When any animal keeper comes along, he will be pretending to be shy to come. But when the animal keeper starts to move away from the cage, Annie begins to cry.

There was another month left for Annie in the quarantine cage. This benign behavior is going to be the toughest animal keeper homeworks. “But we are optimistic, every orangutan brought to COP Borneo will learn fast. The Borneo COP forest school is truly Borneo’s true rainforest. This forest will teach Annie.”, said Anen spirit. (SLX)

ANNIE SELAMA SEBULAN DI COP BORNEO
Inilah Annie. Orangutan jantan yang baru masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo pada tanggal 11 Maret 2018. Usianya tak lebih dari 4 tahun. Dia hidup bersama warga di desa Merapun. Di dalam kandang berukuran 3 x 3m dari kayu ini menjadi rumahnya.

Tiga tahun hidup bersama manusia telah mengubah perilaku dan sifatnya yang sekarang. Sejak kecil, Annie harus hidup tanpa kasih sayang induknya. Jika dilihat dari kondisi fisik luar, Annie terlihat baik-baik saja, dalam artian tidak kurus.

Pertama kali masuk kandang karantina di COP Borneo, Annie terlihat bingung. Annie sering bersuara keras seperti berteriak ketika siang hari. Selama sebulan mengamati Annie, Annie merupakan orangutan yang sangat manja. Ketika ada animal keeper datang, dia akan malu-malu kucing mendekat. Namun ketika animal keeper mulai menjauh dari kandang, Annie pun mulai menangis.

Masih ada waktu satu bulan lagi yang harus dilalui Annie di kandang karantina. Perilaku jinak nya ini akan jadi PR terberat animal keeper. “Tapi kami optimis, setiap orangutan yang dibawa ke COP Borneo akan belajar cepat. Sekolah hutan COP Borneo benar-benar hutan hujan Kalimantan yang sesungguhnya. Hutan ini akan mengajarkan Annie.”, ujar Anen semangat. (EJA)