PENGAMBILAN SAMPEL DAHAK ORANGUTAN KANDIDAT RILIS

Kicau burung di pagi hari mengawali pagi ini dengan ceria. Tim medis hanya beristirahat lima jam saja. Persiapan untuk pengambilan dahak tiga orangutan tidak semudah yang terlihat. Pakaian hazmat, masker, sarung tangan medis, sepatu sudah dipersiapkan. Giliran peralatan untuk mengambil dahak orangutan, sudah disuci-hamakan. Peralatan pemeriksaan kesehatan seperti stetoskop, termometer, alat pendeteksi detak jantung, tabung sampel darah, kotak pendingin hingga timbangan sudah dalam daftar barang yang siap angkut ke lokasi pengambilan sampel.

“Jika semua peralatan dan perlengkapan sudah siap di tempat. Kecepatan mengerjakan pengambilan sampel harus dilakukan seefisien mungkin. Kita terbatas oleh waktu, tiga sampel dari tiga orangutan yang berbeda. Tim pengemasan sampel juga tidak boleh melakukan kesalahan, atau sampel akan rusak sebelum sampai tujuan. Surat jalan sampel juga harus sudah siap.”, begitu drh. Rian Winardi memeriksa ulang persiapan. Wajah seriusnya membuat tim lebih hati-hati lagi.

Nigel, Hercules, Antak! Selesai sudah diambil sampel dahak dan darahnya. Matahari sudah condong ke barat, hari yang luar biasa. Tim pengambil sampel sudah selesai menyelesaikan tugasnya. Kini berpacu dengan waktu menuju kota untuk melanjutkan perjalanan ke bandara Kalimarau. Sampel harus tiba di laboratorium sebelum 24 jam. Semoga penerbangan ke Jakarta tidak ada tertunda. Doakan kami!

TANGISAN INDUK PRIMATA TANPA AIR MATA

Pernah melihat induk primata yang tidak ingin melepaskan anaknya bahkan ketika anak tersebut sudah mati? Perilaku ini memang benar ada dan disebut sebagai infant-corpse-carrying behavior. Tidak semua satwa memiliki perilaku ini, hanya anthropoid primates atau primata tingkat tinggi yang biasa melakukannya. Induk tersebut dapat membawa jasad anaknya selama beberapa hari, namun simpanse dan monyet jepang pernah terobservasi membawa anaknya selama lebih dari satu bulan, mulai dari jasadnya membusuk hingga akhirnya mengeras seperti mumi.

Sang induk memperlakukan anaknya seolah-olah mereka masih hidup. Merawat, mengusir lalat bahkan menjerit kesedihan ketika tidak sengaja menjatuhkan jasad anaknya dan meletakkannya di tanah secara pelan-pelan. Seorang pelajar Campfire Academy (Tracey) yang melihat kejadian itu mengatakan, “Dia (induk) tampak sedih seolah-olah sedang berduka dan terus mencoba melatakkannya di pohon seolah-olah mendorongnya untuk bergerak dan berpegangan.”. Walaupun dari jauh kita sudah dapat mencium bau yang tidak sedap, tetapi sang induk tampak tidak menghiraukannya.

Tidak diketahui secara pasti penjelasan mengapa perilaku itu muncul. Namun, peneliti mempercayai beberapa hipotesis. Pertama, “unawareness hypothesis’ yang menunjukkan sang induk tidak memiliki kemampuan kognitif untuk membedakan kondisi ‘mati’ pada anaknya. Hipotesis ini masih perlu dipertanyakan karena pada faktanya induk primata memperlakukan anaknya yang sudah mati berbeda dengan ketika anak tersebut asih hidup, contohnya anak yang sudah mati lebih sering digendong dan diseret, dimana perilaku ini tidak pernah dilakukan pada anak yang masih hidup.

Kedua, ‘unresponsive but alive’, menganggap bahwa anaknya hanya sakit dan akan pulih seperti normal kembali. Ketiga, ‘social-bonds hypothesis’ yang menyatakan bahwa sang induk melakukannya karena ikatan sosial terhadap anaknya yang sangat kuat hingga sulit untuk diputuskan. Ikatan antara induk dan anak ini memang sudah terbentuk sejak lahir dan tidak akan hilang begitu saja begitu anaknya mati. Terakhir, hipotesis yang dipercaya peneliti paling kuat dan masuk akal adalah ‘grief-management hypothesis’ yang menyatakan hal itu dilakukan sebagai cara untuk mengatasi kehilangan yang dirasakan sang induk secara emosional.

Kita memang tidak tahu pasti apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh setiap satwa. Namun jelas sekali bahwa mereka juga memiliki perasaan dan dapat kehilangan layaknya manusia. Tidak sepantasnya manusia terus menerus mengeksploitasi kehidupan mereka. Penting sekali untuk diingatkan bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang sangat menyayangi anaknya dan akan melakukan apapun demi melindungi, mengasuh dan membesarkan anaknya. Ancaman hidup terhadap satwa harus dihentikan karena kehidupan mereka sama pentingnya seperti kehidupan kita (manusia). (Amandha_Orangufriends)

Sumber:
https://www.sciencedaily.com/releases/2020/03/200311082942.htmhttps://mol.im/a/7621385

PERAWAT SATWA TERBAIK DI BORA SEPTEMBER 2020

Akhir bulan September 2020 ada kejutan untuk para perawat satwa di Borneo Orangutan Rescue Alliance (BORA). Sebuah pusat rehabilitasi orangutan yang berada di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Labanan, Berau, Kalimantan Timur ini memberikan penghargaan untuk perawat satwa terbaiknya.

Pria ini dapat menjalin komunikasi yang baik dengan rekan kerjanya. Tak hanya sesama perawat satwa, tetapi dengan para tim medis. Tanpa ragu dia akan bertanya dan belajar tentang sesuatu yang menurutnya cukup membingungkan. Tapi inisatifnya yang cukup tinggi dengan didukung disiplin, pria berusia 23 tahun ini berhasil menjadi perawat terbaik di BORA.

“Hari ini bukan jadwalnya memotong buah, tapi waktu luangnya digunakannya untuk membantu rekan-rekannya mempersiapkan makanan orangutan. Dia juga yang selalu mengingatkan kami, waktunya membuat enrichment orangutan. Selama pandemi COVID-19 desinfeksi tak hanya untuk kandang orangutan, dia juga yang selalu mengingatkan dan segera berkeliling. Dia adalah Simson, perawat satwa yang telah berada di BORA selama 2,5 tahun.”, ujar Widi Nursanti, manajer BORA.

Selamat ya Simson, seorang putra daerah dari desa Merasak yang terus belajar tanpa ragu. Keterbukaan Simson saat menerima kritikan dan nasihat membuatnya menjadi Simson yang berbeda dari dua tahun yang lalu. Orangutan membutuhkan Simson-Simson yang lain. Simson yang terus berkembang.