BKSDA KALTIM TRANSLOKASI ORANGUTAN DI HUTAN LINDUNG GUNUNG BATU MESANGAT

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur berhasil melakukan translokasi satu individu orangutan jantan berusia 17-19 tahun di Kawasan Hutan Lindung Gunung Mesangat, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur pada hari Jumat, 16 Juni 2023. Tim Wildlife Rescue Unit (WRU) dari BKSDA Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II BKSDA Kaltim menerima laporan dari masyarakat terkait keberadaan orangutan yang sering muncul di wilayah Simpang Perdau, Bengalon, Kutai Timur dan berpotensi akan terjadi interaksi negatif. Untuk itu, BKSDA SKW II BKSDA Kaltim melakukan tindakan penyelamatan dan melanjutkan ke translokasi orangutan tersebut ke hutan yang lebih baik dan aman.

“Tim WRU SKW 2 Tenggarong merupakan tim yang dibentuk BKSDA Kaltim untuk merespon laporan warga untuk melakukan upaya tindakan preventif akan potensi interaksi negatif manusia dan satwa liar. Tim WRU ini berkeliling dengan membawa perlengkapan standar penyelamatan satwa liar dalam menjalankan tugasnya. TIndakan penyelamatan orangutan ini bentuk penilaian tim WRU terkait potensi interaksi negatif sehingga diperlukan upaya translokasi”, M. Ari Wibawanto, S. Hut., M.Sc, Kepala BKSDA Kaltim.

Tim WRU dibantu dengan dokter hewan Centre dor Orangutan Protection (COP) melakukan cek kondisi fisik satwa dan dinyatakan dalam kondisi baik tidak ada luka sehingga diputuskan bisa dilakukan upaya translokasi langsung. Orangutan dibawa menuju ke Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat dengan menempuh perjalanan darat selama 6 jam dan dilanjutkan dengan jalur air selama 3 jam. Lokasi Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat adalah lokasi yang relatif aman karena ada COP yang menjadi salah satu mitra dari BKSDA Kaltim terkait pelepasliaran orangutan dan patroli kawasan hutan ini.

“Berharap di lokasi baru, orangutan jantan yang ditranslokasi ini bisa menemukan pasangannya dan berkembangbiak alami. Di lokasi ini sebelumnya juga dilepasliarkan orangutan betina hasil rehabilitasi COP. Faktor keamanan lokasi juga cukup baik karena ada warga masyarakat yang dilatih menjadi ranger (penjaga) hutan yang akan mendukung pengamanan paska proses translokasi orangutan tersebut. Selain itu menghimbau kepada warga masyarakat jika bertemu dengan orangutan atau satwa liar lainnya tidak perlu melakukan tindakan berlebihan seperti melukai atau memburunya”, M. Ari Wibawanto, S. Hut., M.Sc, Kepala BKSDA Kaltim.

BELAJAR, BERMAIN DAN BERLATIH DI TANAH KARO

Riuh suasana anak-anak di ruangan kelas, sering membuat fokus kami hilang. Namun kami harus tetap tenang untuk menghadapinya karena kami punya yel-yel dan beberapa trik untuk mencairkan suasana (ice breaking games). Begitulah school visit Centre for Orangutan Protection menjadi tempat belajar dan berlatih bagi Orangufriends (relawan orangutan) yang sedang terlibat. 

Aqil dan Lulu, Orangufriends Medan yang mengunjungi 3 Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Tanah Karo, Sumatra Utara harus melalui 6 jam perjalanan darat dari Medan ke desa Kuta Pengkih, kabupaten Karo, Sumatera Utara. Waktu yang cukup untuk berbagi cerita dan pengalaman dan mengenal lebih jauh lagi. COP adalah organisasi yang didukung relawannya dari berbagai daerah dan latar belakang. “Tak jarang kami hanya mengenal nama saja dan komentar di sosial media. Tapi ketika kegiatan bersama dan serius, kami akan langsung menyesuaikan dan bekerja sesuai kemampuan. Begitulah Orangufriends”, ujar Iqbal Rivai, kapten APE Sentinel COP yang bekerja untuk perlindungan Orangutan Sumatra dan yang lainnya.

Sebelum berangkat, biasanya tim membuat materi yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan usia audiens nya. Ciri khasnya ada di gambar maupun foto, semuanya harus dikemas dengan sederhana dan sangat dasar. “Selanjutnya, anak-anak dengan semangat mengajukan pertanyaan yang sering membuat kami kaget. Berapa lama orangutan hidup, apa statusnya, apa saja penyakitnya hingga perbedaan orangutan dengan monyet atau primata lainnya”, jelas Iqbal lagi. Ternyata kunjungan ke sekolah hanya 90 menit itu tak cukup juga, dilanjut lain waktu ya. (BAL)

MAKAN APA DI SEKOLAH HUTAN SRA

Ketika BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) menyebutkan bahwa area sekolah hutannya mengalami kelangkaan buah karena musim buah telah berlalu. Sumatran Rescue Alliance (SRA) berbeda, mengapa? Selain pepohonan yang kian menipis dan tumbang akibat aktivitas sekolah hutan Asto dan Asih, pepohonan di SRA tak lagi menghasilkan buah-buahan yang dapat memberikan asupan energi untuk Asto dan Asih, namun hal ini tidak membuat mereka menyerah. 

Asto dan Asih sering terlihat mengunyah dan mengemil beberapa jenis pakan yang dapat dijumpai di bagian bawah sekolah hutan. Seperti bunga-bungaan dan beberapa daun muda segar yang muncul usai minggu lalu dipetik oleh mereka. Asto juga terlihat memakan kulit pohon hingga menghisap kambiumnya. Jika sudah tak menemukan yang menarik lagi, dengan mengendap-endap Asto dan Asih sudah berada di tanah dan kabur ke area pulau yang sedang diistirahatkan. 

Aktivitas sekolah hutannya Asto Asih didominasi bermain bersama. Perawat satwa di SRA juga membantu pergerakan kedua orangutan ini dengan memasang tali yang menghubungkan satu pohon dengan pohon yang lain. Kondisi sekolah hutan di SRA bukanlah hutan primer seperti di BORA dan menjadi konsen tersendiri buat SRA untuk merimbunkan kembali kawasan tersebut agar bisa menyerupai hutan yang akan menjadi rumah berlatih untuk kedua orangutan tersebut. Yuk bantu Asto Asih dapatkan pohon! (BIL)

EBOCS, 6 BEASISWA UNTUK MAHASISWA SAMARINDA TERPILIH

Penyerahan dan penandatangan kontrak penerima EBOCS 2023 dihadiri Prof. Dr. Rudianto Amirta, S. Hut. M. P selaku dekan Fahutan UNMUL, Dr. Dra. Hj. Ratna Kusuma, M. Si selaku dekan FMIPA beserta staf dan karyawan Fakultas Kehutanan dan Fakultas MIPA, Gary Saphiro, Ph.D dari OURF, Daniek Hendarto selaku direktur eksekutif Centre for Orangutan Protection serta seluruh penerima beasiswa EBOCS 2021, 2022, dan 2023.

Ada enam mahasiswa Universitas Mulawarman (UNMUL) Samarinda, Kalimantan Timur yang menerima beasiswa EBOCS 2023. Keenam penerima beasiswa ini telah melalui serangkaian seleksi mulai dari berkas administrasi hingga wawancara sejak 27 April 2023 yang lalu. Ini adalah pemberian EBOCS (East Borneo Orangutan Caring Scholarship) di tahun ke-3 dengan pengembangan jurusan dan jumlah penerima. “Dua tahun terakhir, EBOCS hanya diberikan untuk mahasiswa kehutanan UNMUL saja. Pada 2021 yang lalu ada 2 mahasiswa yang menerima, tahun berikutnya ada 4 mahasiswa. Sayang sekali salah satu penerima beasiswa meninggal dunia beberapa bulan yang lalu. Total ada 12 mahasiswa yang telah menerima beasiswa tersebut, khusus tahun ini ada pengembangan di jurusan Biologi”, jelas Oktaviana Sawitri dari Centre for Orangutan Protection.

Tiga anak kehutanan dan 3 anak biologi penerima beasiswa diharapkan dapat berkontribusi langsung pada perlindungan orangutan mulai dengan ikut kegiatan Centre for Orangutan Protection (COP) seperti edukasi, patroli, penelitian bahkan kampanye di sosial media seperti like, share dan comment COP. “Kebetulan penerima beasiswa UNMUL ini didominasi perempuan. COP berharap penerima bisa lebih aktif lagi mendukung dunia konservasi di Indonesia khususnya Orangutan. Permintaan Dekan FMIPA agar COP mengisi kuliah umum di prodi Biologi juga akan dijadwalkan”, tambah Okta lagi.  (OKT)

WHAT HAPPENED AT LONG GIE

Yesterday, we rescued a baby orangutan from the village of Long Gie, for the third time in the very same village. What is happening to this village? Arif, the captain of the APE Crusader Team shares this story for you. 

One of the main tasks of the APE Crusader is mitigating conflict between humans versus orangutans or wildlife in general. Due to limited resources, the team reduce the work coverage, from covering the Borneo island to a more specific area: East Borneo. For the last 2 years, the team has responded to 160 cases in 6 districts: East Kutai, Berau, Bontang, West Kutai, Kutai Kartanegara, and Pasir. The roots of the conflict are various, from coal mining, road development, settlement, and oil palm plantation. On average, they should go to the field every 4 or 5 days. One case needs at least 3 days. It makes them work 24/7. Almost no break. 

Mitigating conflict is an art of communication as the team has to develop good relationships among the stakeholders: government, local people, companies, and even the other NGOs. We even have to delay the publication or even simply not publish the story as we have to make everybody happy and the most important thing is: the orangutan. Not necessary to be heroic in social media if it is a threat to the life of other orangutans that are not being rescued yet and hurt the stakeholders. 

Long Gie village is located on the river bank Kelay, warm, lot of natural foods and plenty of water. Both humans and orangutans love this kind of place. Local people and orangutans have been coexisting in the habitat for a long time until the companies get the concession to utilize lands and forests. Competition for natural resources becomes unavoidable. The company may have trained staff to deal with wild animals to keep their reputation and prevent legal problems. How about local people? Working with companies is much easier. Just develop and run internal regulations. Give punishment to those who break it. Very contrary to local communities. As there is no possibility to punish them or even control them, we need to work in every way to minimize the negative impact on both sides: humans and animals. Things become more complicated in the last two years since the swine flu kill most wild boars in the forest, and the natural fruit also decreased a lot due to more rains, somehow the wild animals, including orangutans search for food in and around humans settlements across Borneo and Sumatra. The last two years were peak seasons for humans versus wildlife. Just within 1 year, we rescued two babies need to be rescued from Long Gie. The background story is very similar: spot a baby orangutan crying with no mother and take them home. Not long time after the first rescue, the COP team investigated the case and socialize the protection of orangutans in the village. Arif, the Captain also uses his day off to visit Long Gie village and stay there for a couple of days “holiday”. 

Arif has been serving the government for an energy program in Long Gie, a remote village on the bank of Kelay River, East Borneo. He has been living there for about one year and is considered local by locals. His local knowledge and skill in social work are essential for a grassroots organization like COP. His good personal relationship with COP staff has moved him to join the team. Now, he is the Captain of our APE Crusader Team. 

He and the team need more support. Yesterday’s rescue is evidence that we have to work harder and smarter to make everybody in the village and many other villages understand the protection of orangutans.  Especially since there are no signs that conflict is decreasing and dry seasons are coming, means forest fires are threatening nowadays.

PACEKLIK BUAH HUTAN DI SEKOLAH HUTAN BORA

Musim pohon hutan di KHDTK Labanan berbuah, sudah berlalu. Saat ini sebagian besar pohon-pohon yang ada di lokasi sekolah hutan tidak berbuah. Hal ini berpengaruh pada perilaku mencari makan orangutan selama sekolah hutan berlangsung. Ketika musim berbuah, orangutan-orangutan yang mengikuti sekolah hutan sangat aktif mencari makan di atas ketinggian pohon, berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lain. Namun sekarang, mereka harus belajar menyiasati kelangkaan buah di hutan dengan strategi mencari pakan lain. Daun, kulit kayu, bunga, umbut, tunas, dan serangga dapat menjadi alternatif pakan bagi orangutan.

Orangutan bernama Bagus dan Devi teramati memiliki stategi mencari pakan yang berbeda dengan menyiasati kelangkaan buah di hutan. Bagus memakan beragam jenis daun-daunan. Bahkan pada data bulan Mei 2023, ia merupakan orangutan dengan frekuensi memakan daun paling tinggi dibandingkan orangutan lainnya. Sementara Devi lebih aktif memakan tunas dan umbut tumbuhan yang berada di permukaan tanah. Umbut tumbuhan tepus, pacing, dan rotan teramati menjadi pilihan pakan alaminya yang dimakan oleh Devi.

“Tidak semua orangutan rehabilitasi di BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance) dapat menyiasati kelangkaan buah di sekolah hutan yang berada di KHDTK Labanan ini. Biasanya kegiatan mereka di sekolah hutan menjadi terbatas pada travelling atau menjelajah bahkan kembali ke perawat satwa yang membawanya”, jelas Raffi Ryan Akbar, asisten manajer BORA sekaligus ahli biologi COP. Kemampuan Bagus dan Devi dalam menyiasati kelangkaan buah di hutan menjadi secercah harapan bahwa mereka dapat bertahan hidup dengan baik ketika dilepasliarkan nanti. (RAF)

PERTAMA KALI NAIK KETINTING

Kalimantan dikenal dengan sungai yang luas dan perahu sebagai transportasinya. Pernah dengan Sungai Kapuas? Ya… itu sungai paling panjang yang ada di Indonesia yang diketahui panjangnya sampai 1.143 kilometer dan ada di Kalimantan. Karena dimana-mana sungai, maka transportasi yang seringkali digunakan masyarakat adalah perahu yang disebut ‘ketinting’. Ketinting adalah perahu kayu dengan  ukuran kurang lebih panjangnya 11 meter dan lebar 60 sentimeter dengan mesin motor yang dipasang di buntut perahu, juga poros panjang dengan kipas yang bentuk dan fungsinya mirip seperti ekor dan sirip ikan untuk menggerakkan perahu. Ketinting ini dikemudikan seorang motoris yang terlatih untuk mengatur gas dari mesin motor dan menaik-turunkan serta mengarahkan poros panjang dari perahu. Satu perahu bisa dinaiki oleh 5-6 orang bersama dengan motoris dan disesuaikan dengan bawaan yang diangkut di atas perahu. Untuk keamanan, perlu dikira-kira banyaknya barang yang akan dibawa dengan pertimbangan jumlah penumpang.

“Hari itu, 12 Maret 2023 saya pertama kali naik perahu ketinting dengan tujuan ke Pos Monitoring Pulau Busang Hagar alias pergi mudik untuk ikut kegiatan pelatihan rescue orangutan sebagai bagian dari tim APE Guardian COP”, cerita Amin Indra Wahyuni, biologist Centre for Orangutan Protection. Mudik memiliki arti pergi ke hulu, sementara ke mudik disebut dengan hilir. Ketinting APE Guardian dengan motoris Tamen Lukas menyusuri Sungai Atan, Sungai Kelinjau, Sungai Penyit dan Sungai Menyuk. “Perjalanan menyusuri keempat sungai ini memakan waktu tiga jam. Sepanjang itu pula, saya disuguhi pemandangan yang baru pertama kali saya lihat. Burung air yang terbang ke sana kemari meminta difoto, mulai dari Kuntul perak. Trinil pantai, dan yang mengejutkan saya juga bertemu Kangkareng dalam perjalan pertama kali naik ketinting!”, tambah Amin penuh semangat. 

Vegetasi yang dilewati juga begitu variatif, kadang masih hutan dengan tumbuhannya dan kadang juga melewati ladang dengan tanamannya dan pondok-pondok milik orang yang berladang di tempat itu. “Orang-orang di sini memang berladang berpindah, saat merasa lahan sudah tidak produktif mereka berpindah tempat untuk membuat ladang baru”, jelas Galih Norma Ramadhan, kapten APE Guardian. Lantas bagaimana dengan ladang yang ditinggal, tanya saya. “Ladang ya ditinggal begitu saja. Nanti akan tumbuh ilalang, tumbuhan liar lain, pohon. Mereka tidak pakai pupuk”. Sangat masuk akal, saya pernah belajar bahwa tanah yang baru dibuka itu memanglah subur, bahkan ada cara alami mengembalikan lapisan atas tanah yang rusak yaitu membiarkan ilalang tumbuh di atasnya.

Air sungai membentuk gelombang setelah dibelah perahu yang kami naiki. Mesin motor memang sebegitu kuatnya melawan arus sungai. Kadang-kadang saya merasa tenang, kadang juga merasa takut karena jujur saja saya tidak bisa berenang, oleh karena itu saya kenakan pelampung untuk keamanan. Sampai setengah perjalanan, kami menabrak sebuah kayu yang tidak tampak wujudnya dari permukaan air. Saya reflek memegang kayu yang ada di lambung perahu sambil menyebut nama Tuhan. Penumpang lain tampak santai saja, terutama motorisnya yang masih necis memakai kacamata hitam dan memandang jauh melihat sungai di depan yang seperti jalan raya tanpa rabu-rabu. Saya saja sepertinya yang merasa jantungan.

Perjalanan berlanjut. Saya melihat pemandangan baru. Jika diperhatikan, pinggiran sungai yang bertabrakan dengan dinding tebing membentuk sebuah pola bergaris-garis, seperti seakan-akan sungai ini dibangun dengan semen. Batuannya terbentuk berpola mungkin karena arus sungai setiap hari dan saya terkagum memikirkan berapa lama pola itu bisa muncul di atas batu yang dilawan air. Ketika perjalanan hampir selesai, sekitar 15-20 menit lagi, perahu kami menyenggol kayu betulan yang terlihat di atas permukaan air. Motoris sudah mengambil arah dari kanan dan agak ke pinggir untuk menghindari kayu itu tapi sayangnya tetap tertabrak. Perahu terguncang, berbelok ke kiri hampir memutar, motoris kami sudah tidak lagi di perahu, saya tiak sempat lihat apakah terpelanting atau terlompat menghindari poros panjang. Tau-tau sudah di air dan kacamata hitam kerennya sudah terlepas. Kami yang di atas perahu cukup panik, apalagi saya. Galih reflek bangun dan mencoba memegangi poros, mematikan gas. Randy berusaha memegangi kayu yang ada di depan mata supaya perahu bertahan dan tidak ikut bergerak bersama arus sungai. Saya ber-dzikir sambil ikut mencari kayu yang bisa digapai juga. Ulang Njau setelah sadar keadaan perahu, lari ke belakang untuk mengambil alih kemudi. Perahu kembali digerakkan ke pinggir dan kami selamat. Setelah perahu dapat dikendalikan, semua menghela napas, juga tertawa tipis-tipis, kecuali saya. Saya masih gemetaran dengan kejadian pertama kali naik ketinting ini. Perjalanan kami berlanjut sampai ke hulu, bertemu tim APE Guardian yang lain dengan jamuan olahan ikan segar. (MIN)

SCHOOL VISIT BATTLE: INTERNATIONAL PRE SCHOOL AND SDN 006 BUSANG

Tim APE Guardian berencana untuk kunjungan ke SDN 006 Busang di desa paling hulu, Desa Mekarbaru sekaligus menyampaikan kegiatan pelepasliaran orangutan ke kantor desa tersebut. Perjalanan panjang melewati perkebunan sawit, hutan tanaman industri, hingga melewati perkebunan kelapa sawit kurang lebih 90 menit pun dilalui. Tentu saja jalan yang dilalui tak selalu rata, kadang bergelombang, berkerikil, berdebu, dan yang paling melelahkan adalah yang becek dengan tanah liat yang lengket hingga saya sebagai penumpang kendaraan roda dua harus turun dan berjalan kaki.

Bertemu Pak Yusman, wali kelas 4, satu-satunya guru yang belum pulang dan bersedia diskusi mengenai tujuan APE Guardian COP melaksanakan sosialisasi tentang orangutan dan habitatnya sebagai bagian dari kegiatan belajar. Dari sini, tim melanjutkan diskusi di rumah Pak Idin, salah satu wali kelas yang dituakan di sekolah itu. Dan berakhir di desa Long Nyelong dimana Kepala Sekolah SDN 006 Busang tinggal untuk mendapatkan izin.

Tibalah hari “Mengenal Satwa Liar Dilindungi di Indonesia khususnya Orangutan” bersama tim APE Guardian. Anak-anak tampak malu namun bersemangat. Ada siswa yang berani menjawab pertanyaan, berani maju untuk menunjukkan di mana sarang orangutan, juga semangat saat menjawab yel-yel ‘Semangat pagi, Orangutan!’.

“Antusiasme siswa-siswi SDN 006 Busang, Kaltim tidak kalah ramainya dengan respon murid-murid di International School Sophos Indonesia yang berada di Bintaro, Tanggerang Selatan tahun 2022, school visit yang dilakukan Orangufriends Jakarta. Perbedaan menonjol terlihat dari ketersediaan fasilitas jalan menuju ke sekolahan, listrik, pengetahuan yang mudah diakses melalui internet, sikap malu-malu siswa dan juga keterbatasan tenaga pengajar”, cerita Amin Wahyuni yang juga mengikuti kedua lokasi school visit Centre for Orangutan Protection (COP). Kondisi ini menjadi motivasi tersendiri bagi tim, untuk mendukung kegiatan Merdeka Belajar yang cukup kompleks dimana tak hanya menuntut penguasaan materi namun penyampaian yang meliputi komunikasi, sikap, percaya diri, dan pengalaman baru. “Segala usaha konservasi satwa liar dan usaha mencerdaskan anak bangsa untuk masa depan yang lebih, memang tidak selalu mudah. Tapi itu bisa dilakukan”, tambahnya lagi. (MIN)

TIGA ORANGUTAN KEMBALI KE RUMAH BARUNYA DI BUSANG

Rabu, 24 Mei 2023 menjadi hari kembalinya orangutan Jasmine, Syair, dan orangutan eks-rehabilitasi Memo ke Hutan Lindung Batu Mesangat kecamatan Busang, Kalimantan Timur. Orangutan tiba di Desa Longlees pada petang hari, Selasa (23/5) bersama tim APE Crusader, APE Defender, KPH Kelinjau, dan BKSDA Kaltim. Kondisi orangutan dan tim sehat wal’afiat setelah menempuh perjalanan panjang selama sepuluh jam dari klinik dan karantina BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance). Besok pagi tim akan melanjutkan jalur air, malam ini waktunya tidur.

“Tiga jam perjalanan naik ketinting ke Pos Pantau Busang Hagar terasa mengharukan bagi saya pribadi. Ini adalah kali pertama saya terlibat dalam proses pelepasliaran orangutan, ada rasa bangga, lelah, dan khawatir dengan orangutan yang akan dilepaskan”, cerita Amin Indra Wahyuni, anggota tim APE Guardian COP. Jalur darat selanjutnya menuju titik pelepasliaran cukup licin dan berlumpur karena hujan, tim pemikul kandang berulang kali berganti posisi dan personil. Tanpa membawa beban saja jalan terseok-seok apalagi membawa kandang berisi orangutan.

Satu jam lebih perjalanan penuh keringat hingga sampai Hutan Lindung. Tepat di depan akar liana, posisi pintu kandang diletakkan untuk mempermudah orangutan langsung memanjat saat pintu kandang angkut dibuka. Benar saja, orangutan Jasmin dan Syair pun langsung memegang liana dan memakan buah-buahan yang sengaja diletakkan di situ. Sementara orangutan bernama Memo yang dilepaskan tak jauh dari  induk dan anak tersebut, tanpa ba-bi-bu langsung naik ke atas pohon. Rilis selesai, selanjutnya tim APE Guardian melanjutkan Post Release Monitoring (PRM) orangutan.

PRM dilakukan selama tiga bulan ke depan dan akan dipantau terus kondisi orangutan yang meliputi kesehatan, kemampuan mencari makan, dan lokasi pergerakannya. Orangutan Jasmine dan Syair terlihat lebih dahulu dapat beradaptasi dibandingkan Memo, karena Jasmine dan Syair memang orangutan liar yang dipindahkan (tanslokasi). Perlu waktu yang tidak singkat untuk dapat mengantarkan orangutan kembali ke hutan. Usaha luar biasa dilakukan dan banyak pengorbanan mulai dari tenaga, biaya, waktu dan lain-lain. Semoga Jamine, Syair, dan Memo utamanya dapat lekas beradaptasi, tumbuh, dan berkembang di rumah yang seharusnya. (MIN)

PERJUMPAAN TAK TERENCANA DENGAN ORANGUTAN NIGEL

Memasuki waktu 3 jam perjalanan air menuju kawasan pelepasliaran orangutan di Busang, Kalimantan Timur, Tim Centre for Orangutan (COP) dikejutkan gerakan besar di atas pohon yang menjorok ke sungai. Tak lama kemudian terlihat orangutan jantan dengen wajah yang sangat mudah dikenali. Dia adalah Nigel.

Tim APE Guardian COP mengenalinya dengan keberadaannya yang sudah seminggu ini di daerah tersebut. “Perjumpaan ini adalah pengulangan di bulan Maret 2023 yang lalu. Nigel terlihat sedang makan buah ficus spp. Tubuhnya terlihat lebih proporsional. Laporan konflik dengan manusia pun tidak sesering ketika dia baru saja dilepasliarkan pada bulan Juni 2022 yang lalu”, jelas Galih Norma Ramadhan, kapten APE Guardian COP yang bertanggung jawab penuh pada konflik orangutan eks-rehabilitasi COP yang telah hadir dan membaur di Long less selama dua tahun terakhir ini.

Seperti yang diceritakan sebelumnya, orangutan Nigel sempat memporak-porandakan pondok orang yang mencari emas. “Untungnya tidak ada korban. Lama tak pernah bertemu langsung dengan Nigel baru kali ini berkesempatan berjumpa. Senang sekali dan takjub”, ujar Daniek Hendarto, direktur Centre for Orangutan Protection dalam perjalanannya melepasliarkan orangutan ke-8 dalam kurun waktu dua tahun ini di Hutan Lindung Batu Mesangat, Kaltim. “Terimakasih Nigel, kamu baik-baik saja”, gumamnya lagi.