DUA LUTUNG JAWA MATI DALAM PERDAGANGAN SATWA, TERDAKWA DINOVIS 4 BULAN

Harga satu ekor Elang Brontok Rp 1.500.000,00. Belum lagi harga satu Julang Emas beserta anakannya dan dua Lutung Jawa. Lalu satu ekor Trenggiling yang dihargai Rp 600.000,00. Akhirnya Ahmad Saifudin harus menjadi terdakwa dan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyimpan, memiliki dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.”. Pengadilan Negeri Tulungagung menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat bulan dan denda sejumlah Rp 1.000.000,00. “Kecewa sekali dengan putusan ini. Elang merupakan top predator dalam rantai makanan, memiliki peran yang sangat besar dalam ekosistem. Vonis yang diberikan juga tidak sebanding dengan kematian kedua lutung jawa akibat perdagangan online melalui facebook ini. Centre for Orangutan Protection berharap, hukum dapat ditegakkan agar tidak ada lagi Ahmad Saifudin lainnya.” ungkap Daniek Hendarto, direktur operasional COP dengan prihatin. “Lagi-lagi facebook menjadi media kejahatan satwa. Lagi-lagi whatsapp menjadi sarana komunikasi sebuah kejahatan. Perkembangan dunia komunikasi modern kembali disalahgunakan. Dunia kejahatan satwa liar seperti menemukan kenyamanan. Kami memanggil seluruh orangufriends untuk terus menerus menjadi mata, telinga, mulut bahkan kulit untuk satwa liar.”.

HANYA JOJO YANG TIDAK SUKA BLEWAH

Makanan orangutan di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo terdiri dari buah dan sayuran. Jenisnya beragam, tergantung dari ketersediaan di pasar. Dari pepaya, nenas, jagung, terong hingga bayam.

Kali ini orangutan berkesempatan mencoba buah blewah. Buahnya bulat dengan daging buah berwarnya jingga. Baunya juga menggoda, hanya saja rasanya yang sedikit hambar. Mayoritas orangutan di COP Borneo memakannya terlebih dahulu dan mengesampingkan buah yang lain. Ini kali pertama mereka merasakan buah blewah. Namun sebelumnya mereka sudah pernah merasakan timun suri yang rasa dan aromanya tidak jauh berbeda.

Tapi Jojo berbeda. Dia mencoba Blewah dengan menggigitnya sekali dan kemudian dengan senang hati memberikannya kepada orangutan lain. Tampaknya, dia tidak menyukai Blewah. Dia lebih memilij buah lain seperti pepaya, jagung, tomat dan terong. Mungkin dia akan suka Blewah saat dibuat dalam bentuk es buah ya. (FLO)

 

DENDA 1 JUTA UNTUK TERDAKWA 2 KANGKARENG PUTIH

Setelah melalui enam persidangan, terdakwa 2 (dua) Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros Albirostris) yaitu Dadang Andri Krisbyantoro alias Satrio akhirnya terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja menyimpan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”, oleh PN Tulungangung. 

Kedua Kangkareng tersebut adalah satwa dagangan online. Ini adalah pengembangan kasus yang dikerjakan anggota Unit III Subdit IV Tipider Ditreskrimsus Polda Jatim. 8 Januari 2020 adalah hari yang luar biasa, empat pedagang satwa liar tertangkap tangan memperjualbelikan satwa liar dilindungi. “Kerja keras dan teliti dari Polda Jatim, patut diancungi jempol!”, ujar Daniek Hendarto, direktur operasional COP. 

Pengadilan Negeri Tulungagung pada 23 April 2020 menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda sejumlah Rp 1.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. “Ini adalah kemenangan kita semua, tim Polda Jatim yang cepat tanggap, semoga tidak ada lagi burung Kangkareng Perut Putih yang berakhir di pedagang bahkan rumah penduduk.”, kata Daniek lagi.

PASAR HEWAN, COVID-19 DAN KESEHATAN MENTAL

Dampak pasar hewan yang kembali normal

Belum genap seminggu sejak diangkatnya kebijakan lockdown di Tiongkok, namun pasar-pasar basah yang menjual berbagai jenis daging dan hewan hidup termasuk satwa liar sudah kembali berjalan normal. Meski diyakini bahwa virus corona yang kini makin menyebar ke berbagai penjuru dunia berasal dari pasar hewan di Wuhan, hal ini tidak menyurutkan niatan para penjual untuk tetap memperjualbelikan satwa-satwa liar. Berbagai media pun melaporkan bahwa mereka masih melihat adanya kelelawar-kelelawar yang diperjualbelikan di pasar dan toko obat-obatan.

Tak hanya kelelawar, berbagai satwa domestik seperti anjing dan kucing yang sudah dilarang untuk perdagangkan dagingnya di berbagai negara dan daerah pun masih terlihat di pasar-pasar ini. Dan hal ini tidak hanya menyebabkan perdebatan sengit mengenai kesehatan manusia terkait dengan penyebaran virus tetapi juga kesejahteraan dari satwa-satwa itu sendiri.

Ekonomi memang adalah salah satu faktor yang menjadi penentu, terutama setelah diterapkan peraturan lockdown yang praktis menghentikan perputaran ekonomi di masyarakat. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bersama baik bagi pemerintah dan masyarakat dari berbagai kalangan untuk menemukan jalan keluar yang menguntungkan satu sama lain. Entah apakah dengan kembali menyadarkan masyarakat untuk menghentikan dan mengubah budaya atau tradisi yang merugikan atau dengan membuat peraturan-peraturan yang lebih ketat. Karena tentunya bila hal ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin pandemik global seperti kasus Covid-19 ini dapat kembali merebak dan merugikan banyak orang tidak hanya secara fisik tetapi juga secara mental.

Covid-19 dan kesehatan mental

Sayangnya pandemik global akibat Covid-19 ini diketahui tidak hanya merengut nyawa orang-orang yang terjangkit, tetapi juga dapat menyebabkan orang-orang yang sebenarnya sehat secara fisik menjadi sakit secara mental.  Besarnya ketakutan dan kecemasan yang tersebar akibat adanya virus ini membuat banyak orang terpengaruh. Terutama dengan adanya kebijakan-kebijakan isolasi dan karantina yang mengharuskan orang-orang memutuskan koneksi dengan dunia luar dan harus menghadapi virus ini sendirian.

Beruntung bagi orang-orang yang memiliki keluarga di rumah sehingga masih dapat melakukan sosialisasi secara minimum. Namun bagi orang-orang yang tinggal sendiri ataupun terpisah dari keluarga dan orang terdekat tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri. Hal ini terbukti dari studi-studi sebelumnya terkait epidemik seperti saat SARS, MERS, Influenza, dan Ebola beberapa tahun lalu. 

Dari beberapa studi, dijabarkan beberapa gangguan yang dialami oleh orang-orang saat sebuah epidemik dan pandemik terjadi. PTSD atau post traumatic stress syndrome, gangguan pola tidur, gangguan pola makan, dan kecemasan serta ketakutan berlebih. Hal ini tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjangkit virus, tetapi juga orang-orang atau masyarakat secara umum. Namun kecemasan dan pengaruh berbeda dapat dialami oleh para petugas-petugas medis dan kesehatan.

Pandemik seperti ini yang menyebar dengan cepat dan menjangkiti ratusan orang dalam sehari dapat membuat para petugas medis kewalahan. Terlebih bila mereka berada dalam kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan seperti kurangnya fasilitas dan banyaknya jumlah pasien yang harus mereka tangani. Para petugas medis dalam kondisi ini akan sangat rentan mengalami stress dan depresi. Termasuk dengan adanya kecemasan akan adanya resiko mereka dan keluarga mereka juga dapat terjangkit virus dari pasien-pasien yang mereka tangani. 

Oleh karena itu kita harusnya bisa memahami bagaimana pergumulan para petugas medis yang berperang di garis terdepan. Mereka harus memberanikan diri mengambil resiko begitu besar untuk merawat orang-orang yang sakit. Maka satu hal yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa adalah dengan terus memberikan dukungan baik secara materi untuk memperbaiki fasilitas yang ada ataupun secara mental. Secara mental berarti kita bisa terus memberikan dukungan berupa semangat dan keterbukaan untuk menerima keluhan-keluhan mereka. 

Menjaga kesehatan mental di tengah isolasi

WHO mempublikasikan beberapa himbauan untuk masyarakat untuk menjaga mental mereka tetap sehat selama isolasi. Beberapa diantaranya yaitu dengan tetap menjaga hubungan dengan lingkungan atau orang lain dengan memanfaatkan teknologi. Kemudian melakukan aktivitas-aktivitas yang menyehatkan di rumah seperti berolahraga atau aktivitas yang kita sukai dan dapat menenangkan pikiran. Selain itu dengan mengurangi paparan terhadap bacaan atau tontonan berita yang dapat membuat pikiran menjadi cemas dan stress.

Berada dalam isolasi juga sebenarnya memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki gaya hidup dan mencoba mempelajari hal-hal baru seperti memasak, berolahraga, mempelajari bahasa lain, menambah wawasan dengan membaca buku atau pengetahuan lainnya dan menyibukkan diri dengan mengadopsi hewan-hewan yang terlantar. Hal ini dapat menyibukkan pikiran kita agar tidak terlalu cemas dan tetap bisa terasah serta membantu lingkungan sekitar kita.

Begitu juga dengan para petugas medis, mereka harus lebih memperhatikan kesehatan diri dengan tetap menjaga kebersihan dan tidak melewatkan waktu tidur serta makan mereka. Karena pola tidur dan makan yang terganggu dapat menurunkan imunitas tubuh dan daya tahan terhadap stress serta kontrol terhadap emosi. Selain itu juga tidak memaksakan diri dan tetap berusaha untuk membagikan perasaannya dengan orang lain atau tidak memendam stress yang dirasakan.

Itulah beberapa pelajaran sederhana yang dapat kita ambil dari kejadian atau pandemik global saat ini. Hal ini membuat kita belajar bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk yang begitu rentan baik secara fisik dan mental. Namun di sisi lain bila kita ingin melewati ini semua, kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan menjadikan ini sebagai titik balik. Titik balik untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik dan bijak untuk membawa kebaikan bagi sesama dan lingkungan sekitarnya. (LIA)

AMBON SERING MENGELUARKAN SUARA “LONG CALL”

Siapa yang belum mengenal Ambon? Orangutan jantan dewasa yang berparas tampan dengan cheekpad nya. Usianya kini sekitar 27 tahun. Ia penghuni tertua di Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo. Termasuk para perawat satwa dan staf, tidak ada yang lebih tua dari Ambon. 

Ambon bisa mengeluarkan suara panggilan panjang atau long call layaknya orangutan jantan dewasa yang liar. Di alam liar, kepemilikan cheekpad adalah simbol dominasi. Orangutan dengan lantang mengeluarkan suara long call untuk menandai teritorinya. Juga untuk menarik perhatian betina ketika musim kawin. Juga bisa jadi ketika orangutan dalam kondisi terancam, ia akan mengeluarkan suara long call.

Ketika sama-sama tahu bahwa Ambon berada di blok kandang dewasa. Ia terlampau sering mengeluarkan suara long call. Kadang malam… juga subuh. Sesekali ada yang menilik Ambon ke kandangnya setelah terdengar bunyi long call. Terlihat dari binar matanya, ia tampak mengintai sesuatu di sekitar kandangnya. Senter diarahkan ke sana-sini, tidak ada yang aneh. Kami kawatir ada ular atau semacamnya di kandang Ambon.

Sampai sekarang… Ambon masih sering bersuara ketika malam. Akhirnya kami memasang kamera jebak sebagai pilihan untuk mengetahui penyebabnya. (WID)

 

DESINFEKSI PAKAIAN PERAWAT SATWA SEBELUM KE KANDANG

Pandemi Covid 19 spontan membuat seantero dunia panik. Begitu juga kami yang bekerja di garda depan Pusat Rehabilitasi Orangutan. Kami bisa saja menginfeksi belasan orangutan yang sedang menjalani masa rehabilitasi untuk menunggu giliran lepasliar.

Oleh karenanya sejak tertanggal 28 Maret lalu, Pusat Rehabilitasi COP Borneo status pencegahan Covid-19 melejit dinaikkan menjadi awas. Itu berarti kami benar-benar mengurangi intensitas mobilitas kemana pun. Semua staf melakukan karantina diri di area camp COP Borneo. Ketika mayoritas di luar sana menerapkan Work From Home, kami tidak bisa menerapkan itu. Kami masih harus mengurus belasan orangutan yang berada di kandang. Meskipun begitu, kami sepakat untuk mengurangi intensitas keluar camp. Perawat satwa juga tidak bisa mengambil jatah liburnya.

Berbagai tindakan pencegahan penularan Covid-19 makin digalakkan. Mulai penyediaan fasilitas kebersihan di camp, juga yang tak kalah penting adalah melakukan penyemprotan cairan desinfektan. Di area camp dan tentunya para perawat satwa juga mendapat jatah disenfeksi sebelum memasuki area kandang.

Semua perawat satwa tampil lebih nyentrik dari biasanya, kini mereka harus mengenakan baju khusus (wearpack) yang sebenarnya sudah ada dan harus mereka pakai setiap ke kandang namun karena kurang nyaman dan membatasi gerak serta panas, mereka memilih untuk mengenakan kaos COP dan celana pendek. Sekarang, mau tidak mau harus dikenakan. Sementara masker dan gloves memang sudah jadi kewajiban, bedanya sekarang harganya begitu melambung dan menghilang dari pasaran. Centre for Orangutan Protection sampai memanggil para relawannya untuk donasi langsung masker maupun sarung tangan medis. 

Setiap pagi maupun sore, para perawat satwa berjejer, ngantri untuk diperiksa suhu tubuhnya dan disenfeksi. “Covid-19 merupakan virus baru yang belum diketahui secara detil seperti apa. Sehingga segala tindakan preventif penularan Covid-19 kepada manusia dan orangutan yang berada di kandang, harus kami lakukan.”, ujar drh. Flora Felisitas. (WID)

MENUNGGU KABAR BAIK BAGI BERUANG

Pada awal April 2020 lalu, sebuah berita menggembirakan muncul di tengah-tengah duka Covid-19. Shenzen menjadi kota pertama di Cina yang melarang konsumsi daging anjing dan kucing. Memang sejak dahulu Cina cukup terkenal dengan kebiasaan mengkonsumsi daging anjing dan kucing yang juga telah dilarang di beberapa negara lain. Bahkan Cina memiliki sebuah kegiatan tahunan yaitu Festival Yulin yang biasanya dirayakan dengan memakan daging anjing pada bulan Juni. 

Meski belum ada kabar pelarangan perayaan Festival Yulin secara umum di Cina, Shenzen setidaknya sudah mengambil langkah pertama untuk mengurangi konsumsi daging anjing dan kucing yang pada dasarnya bukanlah hewan ternak ini. Langkah ini juga merupakan awal perbaikan kebiasaan-kebiasaan memakan daging satwa liar yang dapat menyebabkan penyebaran Covid-19 di Shenzen.

Selain konsumsi daging anjing, kucing, dan satwa-satwa liar lain, Cina dan beberapa negara di Asia lain pun pernah atau masih melakukan praktek yang sangat mengkhawatirkan yaitu seperti menjual dan mengekstrak cairan empedu dari beruang untuk digunakan sebagai obat. Hampir sama dengan satwa-satwa liar lain yang diperjualbelikan di Cina sebagai obat, bedanya hanyalah bahwa cairan empedu diekstrak dari beruang-beruang yang masih hidup dan dilakukan dengan cara-cara yang bisa dikatakan sangat mengganggu dan tidak manusiawi.

Banyak kemudian muncul peternakan beruang demi membuat ekstrak empedu yang memang terkenal khasiatnya dan dicari banyak orang. Khasiatnya dipercaya mampu menyembuhkan demam, sebagai detoks, anti peradangan, pembengkakan dan mengurangi rasa sakit. Berbagai spesies beruang digunakan, seperti beruang coklat dari Tibet, beruang hitam Asia, beruang madu, dan beruang cokelat Himalaya. Beruang-beruang yang jumlahnya di alam saat ini terus menurun.

Meski dulu cairan ini diambil dengan cara memburu beruang dan diambil dari beruang yang sudah mati, saat ini cairan didapatkan dari beruang-beruang yang hidup di kandang-kandang besi kecil yang bahkan bisa lebih kecil dari tubuh mereka. Cairan diekstrak dari perut beruang hidup dengan cara yang menyakitkan dan akibatnya banyak beruang yang akhirnya mati karena sakit dan infeksi serta terkena kanker hati. Dan tak terhitung berapa banyak yang mengalami trauma dan stress akibat bertahun-tahun tinggal di kandang kecil seperti itu hanya untuk diambil cairan empedunya.

Praktik ini sudah dilarang di beberapa negara, namun sayangnya masih belum dilarang di Cina. Bahkan sempat muncul promosi penggunaannya sebagai obat untuk melawan Covid-19. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena praktiknya yang sangat tidak manusiawi dan hanya membuat beruang-beruang ini sebagai obyek penghasil obat. Ditambah lagi biasanya beruang-beruang dari peternakan ini akan sulit untuk dilepasliarkan karena kemampuan mereka untuk bertahan hidup di alam sudah sangat berkurang dan mengalami banyak sakit penyakit. 

Beberapa lembaga konservasi yang bergerak dalam penyelamatan beruang pun berusaha melakukan langkah-langkah untuk menutup peternakan beruang ini. Berbagai cara seperti kampanye dengan menawarkan pengobatan dengan cara herbal dilakukan. Sayangnya tidak mudah memang  untuk mengubah tradisi, kebiasaan, dan keyakinan yang sudah menahun. Namun adanya berita pelarangan konsumsi daging anjing dan kucing di Shenzen membawa sedikit harapan bagi para beruang untuk menyudahi penderitaan mereka. Semoga segera kita bisa mendengar kabar baik bagi para beruang. (LIA)

Sumber :

https://www.freedomofresearch.org/bear-bile-bad-for-bears-bad-for-humans-by-angela-leary/

Feng, Y., Tong, Y., Wang, N. (2009). Bear bile: dilemma of traditional medicinal use and

animal protection. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 2009, 5:2: Biomed Central.

Foley, K. E., Stengel, C. J., Shepherd, C. R., 2011. Pills, Powders, Vials and Flakes: The Bear 

Bile Trade in Asia, A Traffic Southeast Asia Report. Traffic Southeast Asia: Malaysia.

TIDAK BERANI MENEMBAK BIUS HERCULES

Hari itu, saya dan dua rekan perawat satwa bersama drh. Flora melakukan pemindahan orangutan Hercules dan Nigel yang ada di pulau pra-pelepasliaran. Terbilang cukup mendesak dan tergesa-gesa karena pandemi Covid-19 saat ini tengah menjadi permasalahan di berbagai tempat. Dengan terpaksa, kami melakukan pemindahan agar pengawasan semua orangutan berada dalam satu tempat yakni di Pusat Rehabilitasi COP Borneo.

Peralatan yang kami butuhkan sudah siap sedia seperti kandang transpot, senapan bius angin, jaring, timbangan dan tentunya obat biusnya. Ini pertama kalinya saya mengikuti proses pemindahan orangutan dari pulau pra-pelepasliaran. Ketika drh. Flora meminta saya untuk menembak bius Hercules, saya ragu-ragu karena saya takut salah sasaran. Membius orangutan bukan perkara mudah. Jangan samapai mengenai dada, mata atau bagian vital lainnya. Saya mengundurkan diri dan peran penembak bius diambil alih rekan keeper lain.

Hercules cuup bandel. Setelah ditembak bius hampir 20 menit dia tak kunjung pingsan. Kami lalu menggulungnya dengan jaring meski ada perlawanan dari Hercules.Tidak lupa kami melakukan penimbangan dan pengambilan sampel darah untuk diketahui kondisi kesehatannya. Usia Hercules berkisar 14-16 tahun dan beratnya mencapai 57 kg. Itu cukup berat bagi kami untuk memikul orangutan Hercules. “Cukup ngos-ngosan, bahu dan pinggangku sakit.”, keluh seorang keeper. (JACK)

COP SIAP BANTU ORANGUTAN YKAY

Berita mengejutkan dari Taman Satwa YKAY (Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta) yang telah melakukan rehabilitasi satwa sebanyak 146 satwa liar. Pandemi COVID-19 memaksa YKAY untuk membatalkan program volunteer dari manca negara yang menjadi sumber utama operasional Taman Satwa YKAY. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta meminta COP untuk membantu ketujuh orangutan yang berada di taman satwa tersebut.

Centre for Orangutan Protection menyatakan kesiapannya untuk membantu orangutan yang berada di Taman Satwa YKAY atau yang sering disebut juga Wildlife Rescue Centre Jogja (WRC Jogja). “Pandemi COVID-19 ini tidak hanya memporak-porandakan perekonomian dunia usaha yang bergerak di bidang kuliner, konveksi, properti maupun otomotif yang berkaitan langsung dengan manusia. Tetapi juga dunia konservasi terutama Lembaga Konservasi non profit seperti Pusat Penyelamatan Satwa maupun Pusat Rehabilitasi. COP siap membantu ketujuh orangutan yang berada di Taman Satwa YKAY seperti pemeriksaan kesehatan, pakan, obat dan vitamin serta tenaga untuk ketujuh orangutan tersebut. 

COP memanggil seluruh pendukungnya (Orangufriends) untuk bahu-membahu menyelamatkan orangutan yang berada di Pusat Penyelamatan Satwa Liar Yogyakarta. Bagaimana caranya? Email kami di info@orangutanprotection.com atau langsung donasi lewat kitabisa.com 

Bersama kita bisa!

UNTUK PERTAMA KALINYA KOLA BERDEKATAN DENGAN ORANGUTAN

Usai menjalani masa karantina dan dinyatakan lulus oleh Badan Karantina Pertanian, orangutan hasil repatriasi bernama Kola kini mulai menginjak proses rehabilitasi. Melihat sejarahnya yang tidak pernah bersentuhan atau berinteraksi dengan orangutan lain, Kola diperkenalkan dengan orangutan Popi.

Popi merupakan siswi sekolah hutan yang masih berumur 4 tahun. Ketika pandangannya terpusat oleh kedatangan Popi di sekitar kandangnya, Kola terlihat bersikap agresif di dalam kandang. Setelah 30 menit, Kola yang awalnya agresif mulai mencari tahu dan mendekati Popi yang berada di luar kandangnya. Beberapa kali Kola juga mengeluarkan suara bak suara ‘kiss squeking’ ala orangutan ketika merasa terancam.

Terlihat dengan gamblang bahwa Kola tidak terbiasa dengan keberadaan orangutan lain. Perilaku kontras dibanding saat melihat manusia atau animal keeper yang baru ia lihat. Kola lebih tenang dan mengamati dari jauh.

Bagusnya, keberadaan Popi mengajarkan Kola memakan buah nanas. Karena pengamatan sebelumnya, Kola selalu melewatkan manis asamnya rasa buah nanas. Hanya sebatas satu gigitan dan dibuang. (FLO)