DEBBIE FOUND IN KELAY RIVER

The discovery of a human-like figure near IPA Sambalung PDAM, Berau, East Kalimantan on Thursday afternoon, 12 April 2018 shocked the COP Borneo team. Sadness so enveloped Tim that Tim finally arrived at RSUD Abdul Rivai to make sure the corpse was an orangutan.

After measuring the distance of the eyes and body and checking the tooth structure, the corpses of the orangutans who had not been in the intact state were closely approached physically to the disappearance of the Debbie orangutan since late March.

The team’s effort down the Kelay river for a whole week since its disappearance did not work. That still leaves Debbie hope to survive. “Every time we send food to the island and patrol we are still looking for Debbie. But now, that hope is gone. Debbie is dead, “Inoy said sadly.

Debbie is a deceased orangutan living in a cage. Female orangutans from the Botanical Garden of Unmul Samarinda are entrusted to COP Borneo orangutan rehabilitation center. On March 1, 2018, Debbie had the opportunity to be released on the island of orangutans. The island that will be a place to live forever because of the possibility to be released into the habitat is almost impossible because of Debbie’s previous life history that is always in the cage.

The development of Debbie on the island is quite astonishing. Debbie makes a hiding place or a nest on the ground. He can completely disguise and disappear to avoid Ambon, the male orangutan that was once a cage with him in KRUS. Debbie also managed to climb a tree as high as 15 meters. “Thank you Debbie, you have made us happy to see you live on the island during the month of March. Watching your progress once made us cry happily. And now we are crying sadly with your departure.”. (Dhea_Orangufriends)

DEBBIE DITEMUKAN DI SUNGAI KELAY
Penemuan sosok seperti manusia di dekat IPA PDAM Sambaliung, Berau, Kalimantan Timur pada Kamis sore, 12 April 2018 membuat kaget Tim COP Borneo. Kesedihan begitu menyelimuti Tim hingga akhirnya Tim tiba di RSUD Abdul Rivai untuk memastikan mayat adalah orangutan.

Setelah melakukan pengukuran jarak mata dan tubuh serta pengecekan struktur gigi, mayat orangutan yang sudah tidak dalam keadaan utuh tersebut mendekati fisik orangutan Debbie yang hilang sejak akhir bulan Maret.

Usaha tim menyusuri sungai Kelay selama seminggu penuh sejak hilangnya juga tidak membuahkan hasil. Itu pun masih menyisakan harapan Debbie bisa bertahan. “Setiap kali mengirimkan makanan ke pulau dan patroli kami masih terus mencari-cari sosok Debbie. Tapi kini, harapan itu pupus. Debbie sudah mati.”, ujar Inoy sedih.

Debbie adalah orangutan yang sudah puluhan tahun hidup di dalam kandang. Orangutan betina yang berasal dari Kebun Raya Unmul Samarinda ini dititipkan ke pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Pada 1 Maret 2018 yang lalu, Debbie berkesempatan dilepas di pulau orangutan. Pulau yang akan menjadi tempat hidup selamanya karena kemungkinan untuk dilepas liarkan ke habitatnya hampir tidak mungkin karena sejarah hidup Debbie sebelumnya yang selalu berada di dalam kandang.

Perkembangan Debbie selama di pulau cukup mencengangkan. Debbie membuat tempat persembunyian atau sarang di tanah. Dia benar-benar bisa menyamar dan menghilang untuk menghindari Ambon, orangutan jantan yang pernah satu kandang dengannya di KRUS. Debbie juga sudah berhasil memanjat pohon setinggi 15 meter. “Terimakasih Debbie, kamu sudah membuat kami bahagia dengan melihatmu hidup di pulau selama bulan Maret lalu. Menyaksikan perkembanganmu pernah membuat kami menangis bahagia. Dan kini kami menangis sedih dengan kepergianmu.”.

CATATAN APRIL 2018 DANIEK HENDARTO

“Dalam proses penyelamatan satwa tidak melulu selalu menang dan berakhir baik. Bahkan terkadang kita kalah dan jatuh. Namun tetaplah gembira sesulit apapun itu.”. Itulah suara Daniek Hendarto, manajer operasional orangutan ex-situ COP. Satu bulan terakhir ini menjadi hari-hari yang sulit bagi pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Kedatangan dua orangutan kecil Annie dan Raju membuat tim sedih karena pekerjaan seolah-olah tiada habisnya. Padahal tim sedang mempersiapkan lima orangutan yang akan dirilis ke habitatnya dalam waktu dekat ini.

Tak hanya itu, orangutan Debbie yang tepat pada ulang tahun COP yang ke-11 dipindahkan ke sanctuary island pada akhir Maret sudah tak kelihatan lagi. Buaya yang hidup di sungai Kelay sepertinya berhasil mendapatkannya. Kebahagiaan melihat Debbie yang telah puluhan tahun hidup di balik kandang jeruji besi pun menjadi sirna.

Warna kekawatiran pun pudar melihat Septi yang bisa menerima Popi di dalam kandangnya. Popi terlihat nyaman bersama Septi. Sementara Septi terlihat seperti ibu muda yang mengawasi Popi. Tapi kami pun terpaksa mengevakuasi Reza Kurniawan, manajer COP Borneo ke Yogyakarta karena sakit yang dideritanya. Ejak begitulah kami memanggilnya, menderita sakit malaria.

Memang bumi akan terus berputar. Roda akan terus menggelinding. Ada saat di atas dan ada saat di bawah. Semangat orangufriends (kelompok pendukung COP) seperti tidak ada putusnya. Orangufriends berhasil membawa virus konservasi ke kehidupannya. Mereka yang bergerak di anak jalanan, desain grafis, hukum, kuliner, pendidikan, petualangan bahkan musik terus menerus menjadi semangat kami. Terimakasih tim… terimakasih orangufriends, mari kita bekerja bersama!

ICELAND STOP PRODUCTS THAT USE PALM OIL

Iceland news, a supermarket in Britain that stopped its own brand products containing palm oil from biscuits to soap is a national shopping center business based in Deeside, England is concerned with forests and orangutans in Borneo.

Iceland director Richard Walker said that, “There is no sustainable palm oil.”.

Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) undertakes efforts to manage palm oil to standardize sustainable management of the environment, products, workers and the economy. In fact, the RSPO has given RSPO certificates on approximately 3.5 million ha of palm oil up to 2017. It’s like just labeling ‘green images’ that do not save orangutans and forests. RSPO members are still deforesting forests of high conservation value, indicating the presence of protected endemic wildlife such as orangutans.

If only on the basis of plantations that might meet the criteria of RSPO certification, what about the opening of palm oil mills on oil palm harvests from small plantations and even individuals who turn their land in a national park? How to separate this mixed palm oil?

“If Iceland can stop its production using palm oil, we hope other supermarkets are willing to evaluate its policies. The pressure on users of large quantities of palm oil is expected to invite oil palm plantations to pay more attention to the environment and animals, “said Ramadhani, manager of orangutan protection and COP habitat. (LSX)

ICELAND HENTIKAN PRODUK YANG MENGGUNAKAN MINYAK KELAPA SAWIT
Berita Iceland, sebuah supermarket di Inggris yang menghentikan produk mereknya sendiri yang mengandung minyak kelapa sawit mulai dari biskuit sampai sabun merupakan usaha jaringan pertokoan nasional yang berpusat di Deeside, Inggris ini untuk peduli pada hutan dan orangutan di Kalimantan.

Direktur Iceland, Richard Walker mengatakan bahwa, “Tidak ada minyak kelapa sawit yang berkesinambungan.”.

Usaha yang dilakukan seperti RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil) dengan mengupayakan pengelolaan kelapa sawit ber-standarisasi pengelolaan yang berkelanjutan dari sisi lingkungan, produk, pekerja maupun ekonominya. Bahkan RSPO telah memberikan sertifikat RSPO pada sekitar 3,5 juta ha lahan sawit hingga 2017. Ini seperti hanya memberi label ‘citra hijau” yang tak menyelamatkan orangutan dan hutan. Para anggota RSPO masih juga melakukan pembabatan hutan pada hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi dengan ditunjukkan keberadaan satwa liar endemik yang dilindungi seperti orangutan.

Jika hanya berdasarkan lahan perkebunan yang mungkin sudah memenuhi kriteria sertifikat RSPO, bagaimana dengan terbukanya pabrik minyak kelapa sawit pada hasil panen kelapa sawit dari perkebunan kecil bahkan perorangan yang ternyata lahannya berada di sebuah taman nasional? Bagaimana memisahkan minyak kelapa sawit yang sudah bercampur ini?

“Jika Iceland bisa menghentikan produksinya yang menggunakan minyak kelapa sawit, kami berharap supermarket lainnya pun bersedia untuk mengevaluasi kebijakannya. Tekanan para pengguna jumlah besar minyak kelapa sawit diharapkan bisa mengajak perkebunan kelapa sawit lebih memperhatikan lingkungan dan satwa.”, ujar Ramadhani, manajer perlindungan orangutan dan habitat COP.

SEPTI BERBAGI KANDANG DENGAN POPI

Usaha memasukkan Popi ke kandang sosialisasi bersama orangutan kecil lainnya tak berhasil. Popi di-bully oleh orangutan lainnya. Ditarik-tarik lalu digigit, dan Popi terus menerus tidak bisa membela diri. Tubuh Popi memang sangat kecil dibanding orangutan lainnya. Mungkin Popi juga terlalu manja karena Popi sedari masih bayi sudah mengenal manusia.

Saat bayi Popi baru tiba di COP Borneo, September 2017 yang lalu, Popi tinggal di klinik. Keranjang dengan selimutlah yang menjadi tempat tidurnya. Popi pun tumbuh dan semakin banyak keinginan, Popi pun dipindahkan ke kandang yang berada di belakang klinik COP Borneo. Hingga akhirnya Popi sudah mulai mencoba kekuatannya. “Kandang yang berada di belakang klinik tidak cukup kuat, itulah sebabnya dia dipindahkan ke kandang sosialisasi, bergabung bersama orangutan kecil lainnya. Sayangnya, Owi, Bonti bahkan Happi menarik-nariknya, bahkan menggigitnya. Popi pun menjerit-jerit. Hingga akhirnya kami mencoba memperkenalkan Popi pada Septi. Syukurlah, Septi bisa menerima Popi.”, ujar Reza Kurniawan, manajer COP Borneo.

“Popi sempat menangis ketika Septi mendekat. Dia terlihat ketakutan, namun Septi segera mencium Popi dan dengan seketika tangis Popi hilang. Sungguh saat yang mengharukan. Rasa takut kami pun sirna dengan seketika. Septi bisa menerima Popi dan Popi merasa nyaman.”, tambah Wety Rupiana, baby sitter Popi selama ini.

Kini, sudah satu bulan Septi berbagi tempat tidur dengan Popi. Tak hanya tempat tidur, makanan pun selalu dibagi Septi. Tak ada lagi yang harus kami kawatirkan. Terimakasih Septi. (WET)

THE PAIN OF POPI IN 24 HOURS STORYTELLING FESTIVAL

Apparently, Saturday, March 24, 2018 was world storytelling day. Really, I didn’t know. What i knew was, i was invited to a forum of literation activist (FPL) by my old friend in reading and writing community in Padang city. Hoping there would be a cooperation in campaign of wildlife protection and its habitat by educating children, I was going with other Padang Orangufriends. And suprisingly, there was a big event in Kampung Literasi Gang Aster of Padang Panjang city and the local government with the title of 24 Hours Storytelling Festival.

After filling the guest book, we tried to blend in even it was awkward. It’s amazing how Padang Panjang citizen appreciated this event. Participants who became storyteller were many, ranging from children to adults. The audience was large though. Shortly thereafter, a friend who invited me came and told me directly to storytelling without asking. I stammered, “What? Storytelling?”. This was a new thing and i had not done that before especially in public. Except for storytelling for my own child at night.

My mind grews uneasy. It’s a challenge. But I was not ready. As I chatted, I kept thinking what the story would be. Finally my memories recalled Lara Pongo movie that was I watched during Jambore Orangufriends Yogyakarta last year. Storytelling is one of the most effective methods to educate children. With this method, the message would be delivered properly. Children’s ability to remember is also longer on fairy tales material. Uh yes.. I was reminded of my childhood that every night my mom and my dad often told me stories and i still remember the story that ever told.

Armed with my experience being a volunteer at COP Borneo’s orangutan rehabilitation center, I therefore told a story about the poor Popi. Popi, who was forced to enter rehabilitation center at the age of 1 month because her mother died of being killed. Every now and then I tried to interact with the audience. I couldn’t believe, the kindergarden children could answer the question I asked with surprising answers. Apparently, they realized the natural damage that had occured.

30 minutes became so short. And this was an opening to another wildlife story that I would deliver through the next school visit, along with literacy activist forum of Padang city of course. (Novi_Orangufriends Padang)

LARA SI POPI DI FESTIVAL MENDONGENG 24 JAM
Ternyata, Sabtu, 24 Maret 2018 yang lalu adalah Hari Mendongeng Dunia. Sungguh, aku tak tahu. Yang ku tahu, aku diundang oleh sahabat lama di komunitas Membaca dan Menulis yaitu Forum Pegiat Literasi (FPL) di kota Padang Panjang. Berharap ada kerja bersama untuk kampanye perlindungan satwa liar dan habitatnya lewat edukasi ke anak-anak, aku pun datang bersama Orangufriends Padang lainnya. Dan kagetnya, ternyata ada even besar di Kampung Literasi Gang Aster kota Padang Panjang dan pemerintah setempat dengan tajuk Festival Mendongeng 24 Jam.

Usai mengisi buku tamu, kami pun mencoba untuk membaur walau canggung. Luar biasa apresiasi warga kota Padang Panjang pada acara ini. Peserta yang menjadi pendongeng pun banyak mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penonton yang hadir pun tak kalah banyak. Tak lama kemudian, teman yang mengundangku pun muncul dan tanpa bertanya langsung menyuruhku untuk mendongeng. Dengan gelagapan aku menjawab, “Apa? mendongeng?”. Ini adalah hal yang baru dan belum pernah kulakukan sebelumnya apalagi di depan umum. Kalau mendongeng sebelum anak tidur sih memang sering kulakukan di rumah.

Pikiranku semakin tak tenang. Ini sih tantangan. Tapi ngak siap. Sambil ngobrol, aku terus berpikir mencari ide akan mendongeng apa. Akhirnya ingatanku menyangkut di film Lara Pongo yang pernah kutonton di Jambore Orangufriends Yogyakarta akhir tahun lalu. Mendongeng adalah salah satu metode edukasi yang paling efektif untuk anak-anak. Lewat metode ini, pesan akan tersampaikan dengan baik. Kemampuan mengingat anak juga lebih lama pada materi dongeng tersebut. Ah iya… aku jadi teringat masa kanak-kanakku yang setiap malam sering didongengkan Mama dan Papa dan aku masih mengingat kisah yang pernah didongengkan.

Berbekal pengalaman menjadi relawan pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, aku pun berkisah tentang Popi yang malang. Popi yang terpaksa masuk pusat rehabilitasi saat usianya 1 bulan, karena induknya mati dibunuh. Sesekali aku mencoba berinteraksi dengan penonton. Tak kusangka, anak-anak TK bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan dengan jawaban yang mengejutkan. Ternyata mereka menyadari kerusakan alam yang terjadi.

30 menit menjadi begitu singkat. Dan ini adalah pembuka untuk kisah-kisah dongeng tentang satwa liar lainnya yang akan ku sampaikan lewat kegiatan school visit selanjutnya, bersama Forum Pegiat Literasi kota Padang Panjang tentunya. (Novi_Orangufriends Padang)

A MONTH WITH ANNIE AT COP BORNEO

This is Annie. The new orangutan male entered the COP Borneo orangutan rehabilitation center on March 11, 2018. He isn’t more than 4 years old. He lives with people in Merapun village. Inside the 3 × 3 m, this cage of wood became his home.

Three years of living with humans has changed his behavior and his present nature. Ever since childhood, Annie had to live without his mother’s affection. When viewed from outside physical conditions, Annie looks fine, in terms of not skinny.

First time entering the quarantine cage at COP Borneo, Annie looks confused. Annie often sounded loud like shouting during the daytime. During a month of watching Annie, Annie is a very spoiled orangutan. When any animal keeper comes along, he will be pretending to be shy to come. But when the animal keeper starts to move away from the cage, Annie begins to cry.

There was another month left for Annie in the quarantine cage. This benign behavior is going to be the toughest animal keeper homeworks. “But we are optimistic, every orangutan brought to COP Borneo will learn fast. The Borneo COP forest school is truly Borneo’s true rainforest. This forest will teach Annie.”, said Anen spirit. (SLX)

ANNIE SELAMA SEBULAN DI COP BORNEO
Inilah Annie. Orangutan jantan yang baru masuk pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo pada tanggal 11 Maret 2018. Usianya tak lebih dari 4 tahun. Dia hidup bersama warga di desa Merapun. Di dalam kandang berukuran 3 x 3m dari kayu ini menjadi rumahnya.

Tiga tahun hidup bersama manusia telah mengubah perilaku dan sifatnya yang sekarang. Sejak kecil, Annie harus hidup tanpa kasih sayang induknya. Jika dilihat dari kondisi fisik luar, Annie terlihat baik-baik saja, dalam artian tidak kurus.

Pertama kali masuk kandang karantina di COP Borneo, Annie terlihat bingung. Annie sering bersuara keras seperti berteriak ketika siang hari. Selama sebulan mengamati Annie, Annie merupakan orangutan yang sangat manja. Ketika ada animal keeper datang, dia akan malu-malu kucing mendekat. Namun ketika animal keeper mulai menjauh dari kandang, Annie pun mulai menangis.

Masih ada waktu satu bulan lagi yang harus dilalui Annie di kandang karantina. Perilaku jinak nya ini akan jadi PR terberat animal keeper. “Tapi kami optimis, setiap orangutan yang dibawa ke COP Borneo akan belajar cepat. Sekolah hutan COP Borneo benar-benar hutan hujan Kalimantan yang sesungguhnya. Hutan ini akan mengajarkan Annie.”, ujar Anen semangat. (EJA)

DEBBIE IS MISSING FROM THE ISLAND

March 1st is a very historic day for Center for Orangutan Protection. The day that COP stands to address the orangutans and habitat problems by documenting the conditions in the field where orangutans lose their habitat. In the year 2018 is also the history of zoo orangutans who have dozens and even tens of years will learn to live without the iron bars that restrict movement. The lucky orangutan is Ambon and Debbie.

Debbie, a 20-year-old female orangutan, after waiting in the quarantine cage for 2 years and 9 months at the orangutan rehabilitation center COP Borneo, Berau, East Kalimantan, finally enjoys his freedom. One … the first two weeks, Debbie still struggling downstairs. Make a nest / hideout from the leaves it finds underneath. Calling Debbie to the feeding platform while feeding also keeps track of her progress. Debbie climbed the first tree. He survives at a height of 15 meters. The next day, March 25, 2018, Debbie is still in the same tree, just above the feeding platform and dear, it was the last encounter with Debbie when the team finished feeding in the afternoon.

Debbie’s search was immediately made. When feeding morning at 09.00 WITA (26/3/2018) Debbie is not seen. The team toured the island until it got darker. The next day the team searched Debbie by sweeping the orangutan island, and checked out the usual place Debbie had visited. Unfortunately the search still has not produced results.

The addition of personnel to search Debbie was done, sweeping the island repeated, down river began to be done up to Nyapak village and Long Lanuk village. The village is about 4 hours down of the river with ketinting / boat from the orangutan island where Debbie lives. A whole week, Debbie is in searched and the team loses Debbie.

Not desperate, the team still continue to check the details on every corner of the island and the riverside. But there is no sign of its existence. Debbie is missing without a trace. (LSX)

DEBBIE HILANG DARI PULAU
1 Maret adalah hari yang sangat bersejarah untuk Centre for Orangutan Protection. Hari dimana COP berdiri untuk menjawab permasalahan orangutan dan habitatnya dengan mendokumentasi kondisi di lapangan dimana orangutan kehilangan habitatnya. Di tahun 2018 ini pula sejarah orangutan kebun binatang yang telah belasan bahkan puluhan tahun akan belajar hidup tanpa jeruji besi yang membatasi gerakannya. Orangutan yang beruntung itu adalah Ambon dan Debbie.

Debbie, orangutan betina yang berusia 20 tahun, setelah menanti di kandang karantina selama 2 tahun 9 bulan di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo, Berau, Kalimantan Timur, akhirnya bisa menikmati kebebasannya. Satu… dua minggu pertama, Debbie masih berkutat di bawah. Membuat sarang/tempat persembunyian dari daun-daun yang ditemukannya di bawah. Memanggil Debbie ke feeding platform saat memberi makan juga untuk terus memantau perkembangannya. Debbie pun memanjat pohon pertamanya. Dia bertahan di ketinggian 15 meter. Keesokan harinya, 25 Maret 2018, Debbie masih berada di pohon yang sama, tepat di atas feeding platform dan sayang, itu adalah perjumpaan terakhir dengan Debbie saat tim selesai melakukan feeding di sore hari.

Pencarian Debbie pun langsung dilakukan. Saat feeding pagi pukul 09.00 WITA (26/3/2018) Debbie tidak terlihat. Tim berkeliling pulau hingga hari semakin gelap. Keesokan harinya tim mencari Debbie dengan menyisir pulau orangutan, dan mengecek tempat yang biasa Debbie kunjungi. Sayang pencarian masih belum membuahkan hasil.

Penambahan personil untuk pencarian Debbie pun dilakukan, penyisiran pulau diulang, penyusuran sungai mulai dilakukan hingga kampung Nyapak dan kampung Long Lanuk. Kampung tersebut sekitar 4 jam menyurusuri sungai dengan ketinting/perahu dari pulau orangutan tempat Debbie tinggal. Seminggu penuh, Debbie dalam pencarian dan tim kehilangan Debbie.

Tak kenal putus asa, tim pun masih terus melakukan pengecekkan detil di setiap sudut pulau dan pinggiran sungai. Namun tak ada tanda-tanda keberadaannya. Debbie hilang tanpa bekas.

RAJU, ORANGUTAN WHO WAS SAVED FROM EAST KUTAI

Since 2014, Raju forced to lived in this cage. Like any other small orangutan stories who lived with humans, Raju was found in a palm plantation, East Kutai district, East Borneo. According to Mr. Ibrahim, Raju’s mother was being bitten by other orangutan and Raju was left behind in his palm plantation.

If Raju is currently 4 years old, that means Raju had just been born when he was separated from his mother. Orangutan babies are very dependent upon their mother. They will live with their mother until the age of 6 to 8 years. With their mom, they will learn how to live in nature. How to recognize the food, build a nest, and survive from the predators. And now? His long road back home has just begun.

Raju, the young orangutan will start living his life in COP Borneo rehabilitation center. On April 4, 2018, COP’s rapid response team called APE Crusader, saved him as they passed by a suspected palm plantation related to the case of a man get attacked and bitten by orangutan. Not only Raju, APE Crusader found out that there’s another 2 orangutans more who was kept by East Kutai resident. “I don’t know what happened here in 2014. So that Raju and friends are being kept by human.” said Paulinus Kristianto.

Large-scale land clearing for palm oil plantation in the last two decades have made the orangutans lose their home. COP prediction in 2008 that orangutans outside conservation areas will be extinct is in sight. Saving orangutans and forest has been done by COP since 2007. Sustainable palm oil certification do not save the orangutan either. The certificate only makes a ‘good image’ of palm oil industry. While in the field, orangutans are become homeless in their home.

RAJU, ORANGUTAN YANG DISELAMATKAN DARI KUTAI TIMUR
Sejak tahun 2014, Raju terpaksa hidup di kandang ini. Seperti cerita orangutan kecil lainnya yang hidup dengan manusia, Raju ditemukan di kebun sawit, kecamatan Kutai Timur, Kalimantan Timur. Menurut pak Ibrahim, induk Raju digigit orangutan lainnya dan Raju tertinggal di kebun sawit miliknya.

Jika saat ini Raju berusia 4 tahun, itu berarti Raju baru saja lahir saat terpisah dengan induknya. Bayi orangutan adalah bayi yang sangat tergantung dengan induknya. Anak orangutan akan hidup bersama induknya hingga usianya 6-8 tahun. Bersama induknya, dia akan belajar hidup di alam. Mengenali makanannya, membuat sarang dan bertahan hidup dari para predator. Dan sekarang? jalan panjang Raju untuk kembali akan dimulai.

Raju, anak orangutan ini akan memulai hidupnya di pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. 4 April 2018 yang lalu, tim gerak cepat COP yang bernama APE Crusader menyelamatkannya saat menelusuri perkebunan kelapa sawit yang diduga terkait dengan kasus orangutan menyerang manusia hingga menyebabkan korban tergigit. Tak hanya Raju, ternyata APE Crusader pun menemukan 2 orangutan lainnya yang dipelihara warga Kutai Timur. “Entah apa yang terjadi di tahun 2014 di daerah sini. Raju dan lainnya harus hidup dalam peliharaan manusia.”, ujar Paulinus Kristanto.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran dalam 2 dekade telah membuat orangutan kehilangan habitatnya. Prediksi COP di tahun 2008 bahwa orangutan yang berada di luar kawasan konservasi akan punah sudah di depan mata. Menyelamatkan orangutan dan hutan sudah sejak tahun 2007 COP lakukan. Sertifikat minyak kelapa sawit yang berkesinambungan tak juga menyelamatkan orangutan. Sertifikat hanya membuat ‘citra baik’ industri kelapa sawit. Sementara di lapangan, orangutan menjadi gelandangan di rumahnya.

LECI WILL ALSO RELEASED

Leci is the lively…certainly hard to get caught on camera. His tiny body also easily hides behind trees. Lucky to be photographing it on a tree and staring at the camera. It is the happiness of a photographer who awaits his object.

This year, the COP Borneo Orangutan Rehabilitation Center will release the orangutans from pre-release island. One of the candidates is Leci. Although his age is fairly young, but so far Leci able to compete with other male orangutans. More exactly hanging out with other orangutans.

Leci is a wild male orangutan when the APE Defender team rescues him. A farmer found him in the middle of the orchard in Kebon Agung village, Sangatta, East Kalimantan. April 2, 2016, exactly two years ago Leci entered COP Borneo. Shortly thereafter, Leci was transferred to pre-release island to keep her ability to remain wild.

“Until now Leci will stay away from humans. When the patrol team sounded approaching, Leci immediately climbed the tree.”, said Ibnu Azhari who oversees the island everyday. “It would be nice if Leci could finally be released back into her habitat. He will definitely explore the various trees and try the food available in the forest.”. (L)

LECI JUGA AKAN DILEPASLIARKAN
Leci si lincah… tentu sulit sekali tertangkap kamera. Tubuh mungilnya juga dengan mudah bersembunyi di balik pohon. Beruntung sekali bisa memotretnya sedang di atas pohon dan menatap kamera. Itu adalah kebahagiaan seorang fotografer yang menantikan objeknya.

Tahun ini, Pusat Rehabilitasi Orangutan COP Borneo akan melepasliarkan orangutan-orangutan penghuni pulau pra-rilis. Salah satu kandidatnya adalah Leci. Walau usianya yang terbilang muda, selama ini Leci sanggup bersaing dengan orangutan jantan lainnya. Lebih tepatnya bergaul dengan orangutan lainnya.

Leci adalah orangutan jantan yang cukup liar saat tim APE Defender menyelamatkannya. Seorang petani menemukannya di tengah kebun buah di desa Kebon Agung, Sangatta, Kalimantan Timur. 2 April 2016, tepat dua tahun yang lalu Leci masuk COP Borneo. Tak lama kemudian, Leci dipindahkan ke pulau pra-rilis untuk menjaga kemampuannya untuk tetap liar.

“Hingga kini Leci tetap akan menjauh dari manusia. Saat tim patroli terdengar mendekat, Leci segera menaiki pohon.”, ujar Ibnu Azhari yang bertugas mengawasi pulau sehari-hari. “Senang sekali jika Leci akhirnya bisa dilepasliarkan kembali ke habitatnya. Dia pasti akan menjelajahi berbagai macam pohon dan mencoba makanan yang tersedia di hutan.”.

3 YEARS OF COP BORNEO

This is the only orangutans rehabilitation center founded by the sons and daughters of Indonesia. Began with the concerns for orangutans have no future in human hands, this rehabilitation center built step by step. In September 2014, armed with courages and firmness, also supports from orangufriends, Centre for Orangutan Protection built its quarantine cage. A rugged camp was being a place to rest. The construction progress was running slowly because of its site conditions. The road to the construction site could only be taken by walking. It’s not all plain path, but steep yet slippery derivatives and steep climbs are its own struggle. “Without burden of bulding materials, irons, cements, woods, stones… it’s quite hard to walk through this road, moreover to carry all the building materials!”, Ramadhani recalled.

The first cage finished, followed by the second cage which is a socialization cage for small orangutans. The construction cost was higher because the price of building materials in Berau region’s different from other cities. Luckily, the development continued to run until the construction of kitchen and permanen camp. “The eyes of orangutans staring at us was our own strength.”.

April 1st, 2015, Orangutans transfer began. Twelve orangutans from Unmul Botanical Garden, Samarinda, entered orangutan rehabilitation center COP Borneo. Hadn’t finished organized yet, there was another 3 orangutans entered the rehab center which was consfiscated from the community and deposited to COP Borneo by BKSDA Kaltim. At the end of 2015, eight orangutans from KRUS migrated to orangutan pre-release island. It was continued the following year with the entry of orangutan babies to the class of forest school. By the end of 2016, COP Borneo released orangutan Lana, a wild orangutan just arrested by the people.

The COP Borneo orangutan rehabilitation center continues to grow. The construction of feed warehouse was an attempt at frequent forest animals taking orangutan foods in the storage areas. Orangutan clinic became indispensable. The nearest cage to the clinic was built for orangutan babies. 2017 was a stressful year. Preparation to the release of orangutan which was living in a zoo would be the first in Indonesia. Some candidates and stages before release entered the quarantine period. Unfortunately, the results of medical checkup forced Nigel to remained in the quarantine cage and underwent treatment because of herpes. While Oki, successfully released in mid-September 2017. “It’s such an achievement for COP Borneo, this is the first orangutan from the zoo that was successfuly released. Escape from iron bars into the real freedom.” said Reza Kurniawan, COP Borneo’s Manager.

2018 becomes a year full of surprises. Right on COP’s 11th birthday, Ambon and Debbie orangutans who have lived behind iron bars for decades, live in the sanctuary island. “Ambon was very surprising, in just 3 hours he decided to climb a tree. While Debbie, decided to make a nest under.” said Reza Kurniawan who is also COP’s primate anthropologist.

This year, COP Borneo is 3 years old. Still to young but dreaming of continuing to return orangutans back to their habitat. Orangutan Untung who has finger defects, Novi who was rescued from under the house, chained by her neck and befiriended the dog, Unyil who was rescued from the toilet, small yet lively Leci, and Nigel the stressful orangutan who eats his own feces, will be back to their habitat soon. Currently, they’re undergoing quarantine and final medical evaluation. The release of five orangutans requires a lot of money. Let’s help these five orangutans to return to their habitat, so they can perform their function to preserve the forest. Indonesian people, surely you can!

Thank you With Compassion & Soul​ Orangutan Outreach​ The Orangutan Project ORANGUTAN APPEAL UK​ and Orangufriends in the world for supporting COP Borneo. (SAR)

CATATAN 3 TAHUN COP BORNEO
Ini adalah pusat rehabilitasi orangutan satu-satunya yang didirikan oleh putra-putri Indonesia. Berawal dari keprihatinan pada orangutan tanpa masa depan di tangan manusia, pusat rehabilitasi ini dibangun setahap demi setahap. September 2014, bermodal keberanian dan keteguhan Centre for Orangutan Protection dengan dukungan para orangufriends nya, membangun kandang karantina. Camp ala kadarnya menjadi tempat istirahat. Kondisi lapangan membuat pembangunan berjalan lambat. Jalanan menuju lokasi pembangunan hanya bisa dilalui dengan berjalan. Tidak hanya secara mendatar, tapi turunan yang terjal nan licin dan tanjakan curam merupakan perjuangan tersendiri. “Tanpa beban berupa bahan bangunan, besi, semen, kayu, batu… sudah cukup sulit melalui jalan ini, apalagi dengan bahan bangunan itu!”, kenang Ramadhani.

Kandang pertama selesai, dilanjutkan kandang kedua yang merupakan kandang sosialisasi untuk orangutan-orangutan kecil. Biaya pembangunan pun menjadi lebih besar karena harga bahan bagunan di kota Berau berbeda dengan kota lain. Beruntung sekali pembangunan terus berjalan hingga pembuatan dapur serta camp permanen. “Mata-mata orangutan yang menatap kami adalah kekuatan tersendiri.”.

1 April 2015, Pemindahan orangutan pun dimulai. Kedua belas orangutan dari Kebun Raya Unmul Samarinda masuk ke pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo. Belum selesai tertata, sudah masuk lagi 3 orangutan hasil sitaan dari masyarakat yang dititipkan BKSDA Kaltim ke COP Borneo. Akhir 2015, kedelapan orangutan dari KRUS berpindah ke pulau pra-rilis orangutan. Dilanjutkan tahun berikutnya dengan masuknya bayi-bayi orangutan ke kelas sekolah hutan. Diakhir tahun 2016, COP Borneo melepasliarkan kembali orangutan Lana, orangutan liar yang baru saja ditangkap warga.

Pusat rehabilitasi orangutan COP Borneo terus berkembang. Pembangunan gudang pakan menjadi usaha atas seringnya satwa hutan mengambil makanan orangutan di tempat penyimpanan. Klinik orangutan menjadi sangat diperlukan. Kandang terdekat dengan klinik pun dibangun untuk bayi orangutan. Tahun 2017 menjadi tahun yang menegangkan. Persiapan untuk melepasliarkan kembali orangutan bekas kebun binatang akan menjadi yang pertama di Indonesia. Beberapa kandidat dan tahapan sebelum dirilis memasuki masa karantina. Sayang, hasil cek medis memaksa Nigel untuk tetap di kandang karantina dan menjalani pengobatan karena herpes. Sementara Oki, berhasil dilepasliarkan pada pertengahan September 2017. “Sungguh prestasi tersendiri untuk COP Borneo, ini adalah orangutan pertama dari kebun binatang yang berhasil dilepasliarkan kembali. Lepas dari kandang jeruji besi menuju kebebasan yang sesungguhnya.”, ujar Reza Kurniawan, Manajer COP Borneo.

2018 menjadi tahun penuh kejutan. Tepat di hari ulang tahun COP yang ke-11, orangutan Ambon dan Debbie yang sudah puluhan tahun hidup dibalik jeruji besi hidup dalam pulau sanctuary. “Ambon sangat mengejutkan, hanya dalam 3 jam, dia memutuskan untuk memanjat pohon. Sementara Debbie, memutuskan membuat sarang di bawah.”, ujar Reza Kurniawan yang juga merupakan antropolog primata COP.

Tahun ini, COP Borneo berusia 3 tahun. Masih terlalu muda namun bermimpi untuk terus mengembalikan orangutan kembali ke habitatnya. Orangutan Untung yang cacat jarinya, Novi yang diselamatkan dari bawah kolong rumah dengan rantai yang selalu menghiasi lehernya dan berteman anjing, Unyil yang diselamatkan dari toilet, Leci si kecil nan lincah, dan Nigel si orangutan stres yang memakan kotorannya sendiri akan segera kembali ke habitatnya. Saat ini mereka sedang menjalani karantina dan evaluasi medis akhir. Pelepasliaran lima orangutan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Yuk bantu kelima orangutan ini untuk kembali ke habitatnya, agar bisa segera menjalankan fungsinya di hutan, menjaga kelestarian hutan. Bantu COP Borneo lewat https://kitabisa.com/orangindo4orangutan Orang Indonesia, pasti bisa!

Terimakasih With Compassion & Soul​ Orangutan Outreach​ The Orangutan Project ORANGUTAN APPEAL UK​ dan seluruh #orangufriends yang berada di seluruh dunia atas kepercayaan dan dukungannya pada COP Borneo.