THREE RESCUED BINTURONGS

Malang (East Java), three protected wild species with vulnerable status, shaped like a big civet, called Binturong (Arctictis binturong) was rescued for being kept illegally in a co-working space in Kenanga Indah, Malang. Ironically, this co-working space has a green concept, however they kept a protected wildlife within their premise. The Binturong was obtained from illegal trader; it was worth 1 million Rupiah. Based on the owner’s story, the binturongs lived with them for 15 years, and they did not know that binturongs are protected species. However, they stated the have the license to keep them.

Orangufriends Malang promptly reported the issue to Animals Indonesia and Centre for Orangutan Protection, after that the report was then followed up by BKSDA Malang and on February 23rd they recued the three binturongs and evacuated them to Conservation of Natural Resources Chamber of East Java (BKSDA).

Not only binturongs, but two civets (luwak) were also rescued, they were kept to produce luwak coffee. There were also rumors flying about the binturongs were also exploited to produce ‘luwak’ coffee as well, as it was believed that binturong can pick better coffee than luwaks. It was believed that the luwak coffee from binturong has a distinguished taste.

Behind the unique taste for coffee lovers, there are tragic stories for the animals. Animals are supposed to live in the wild to protect the ecosystem, now they have been moved to small cages and fed only coffees every day to produce luwak coffee.

It was found that 75% of communicable disease are zoonosis (can be contagious from human to animal vice versa), and there are a lot of animals acting as natural reservoir of diseases such as anthrax, avian flu, hepatitis, rabies, ebola, toxoplasmosis, and other diseases still unknown since they are rapidly changed like virus.

Viverridae like binturong is potential to carry rabies, HPAI H5N1, SARS, leptospirosis, salmonellosis, leishmaniosis and toxoplasmosis. Not only for health reasons, animals wellbeing and freedom are also need to be a concern. Wild animals are often kept inside small cages. Binturong, for example, have 6.9 km square roaming area. So forcing them to live inside small cages is abuse, no matter how much care they put into them and how expensive the food is.

The other concern is abnormality and lack of wellbeing; inside small cage animal would feel stressful, and the sign of their stress can be seen from walking in circle and biting the cage. This issue still happening around us.

Protected wildlife like binturong, forest cat, lutung, Javan hawk, cockatoo, are still available on online media and animal market. People awareness to not keep or buy protected animal are apparently still low. Prestige and life style turned keeping wildlife into a sign of wealth that needs to be flaunted, despite the fact that wild animals are not easy to take care of and could potentially spread disease.

Moreover, keeping wild animals on a co-working space or café that will increase human contact. It is very dangerous to keep wild animals! We need to raise people awareness and educate them on this issue. Hopefully, those three binturongs can get a second chance on the wild.

We need to stop keeping wild animal as pet! Let them freely roam the nature, and it will be more beautiful to see when they run around in nature. (Zahra_Orangufriends Malang)

TIGA BINTURONG YANG TERSELAMATKAN
Malang, tiga satwa liar yang dilindung Undang-Undang dan berstatus rentan jenis mammalia seperti musang dan bertubuh besar, Binturing (Arctictis binturong) berhasil diselamatkan dari pemeliharaan ilegal di salah satu Co-Working Space di jalan Kenanga Indah, Malang. Ironisnya sebuah tempat yang bernuansa di tengah kebun asri nan hijau dan dengan konsep arsitektur alam terdapat satwa liar yang dilindungi. Anakan Binturong yang diperoleh dari pedagang ilegal ini awalnya didapatkan dengan harga kisaran 1 juta rupiah. Menurut cerita pemilik, binturong sudah dipelihara hampir lima belas tahun lamanya dan tidak mengetahui satwa tersebut dilindungi Undang-Undang, namun mengaku memiliki surat-surat kepemilikan Binturong.

Orangufriends Malang yang mendapatkan informasi kepemilikan ilegal tersebut memberitahukan kepada Animals Indonesia dan Centre for Orangutan Protection, lalu laporan tersebut dilanjutkan ke BKSDA Resort Malang. Pada Jumat, 23 Februari 2018 laporan ditindak lanjuti dengan mengevakuasi tiga Binturong tersebut untuk diamankan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, Surabaya.

Tidak hanya Binturong, tapi ada juga dua ekor musang atau luwak yang dimanfaatkan untuk menghasilkan biji kopi yang dimakannya. Dengan adanya tiga Binturong beredar isu bahwa Binturong dimanfaatkan juga untuk jadi pemakan kopi seperti kopi luwak karena Binturong dipercaya dapat memilih biji kopi yang sangat berkualitas untuk menjadi makanannya dibandingkan musang luwak.

Biasanya seduhan kopi yang diambil dari sisa kotoran musang luwak, dengan hasil kotoran yang didapatkan dari Binturong diyakini memiliki cita rasa yang berbeda setelah dimakan melewati saluran pencernaannya menjadi biji kopi. Di balik rasanya yang nikmat dan memiliki kemasyuran bagi pecinta kopi ada kisah tragis yang dirasakan oleh satwa-satwa tersebut. Satwa yang semestinya berada di alam liar dan membantu menjaga ekosistem, kini kian hilang dan berpindah pada kandang-kandang sempit dan kecil yang hanya diberi makan biji kopi setiap harinya untuk diambil kotorannya.

Diketahui 75% penyakit menular pada manusia bersifat zoonosis (dapat ditelurkan dari hewan ke manusia dan manusia ke hewan), sehingga banyak juga satwa liar menjadi reservoir (pembawa penyakit) dari alam yang dapat juga ditularkan ke manusia seperti anthraks, flu burung, hepatitis, rabies, wabah virus ebola yang ditelurkan ke manusia, toxoplasmosis dan juga penyakit-penyakit baru yang belum diketahui karena mudahnya penyakit berubah seperti virus.

Famili viverridae seperti Binturong, potensial membawa penyakit seperti virus rabies, HPAI H5N1, virus SARS, leptospirosis, salmonellosis, leishmaniasis dan toxoplasmosis. Selain masalah penyakit, kebebasan satwa juga harus diperhatikan. Satwa liar yang dipelihara terpaksa tinggal di andang sempit. Seperti Binturong saja memiliki daerah jelajah hingga 6,9 km2. Jadi mengekang dalam kandang sempit juga bentuk penyiksaan terhadap satwa mau sebagus apapun perawatan dan pemberian pakannya.

Tak hanya itu, berperilaku tidak normal dan hilangnya kesejahteraan hewan terhadap lingkungannya pun menjadi permasalahan utamanya. Berada pada kandang kecil hanya dapat membuatnya stes dengan bergerak mondar-mandir, berputar-putar dan menggigit kerangkeng kandang.

Kejadian seperti ini sangat masif dan masih banyak terjadi di sekitar kita. Satwa liar yang dilindungi Undang-Undang seperti Binturong, kucing hutan, lutung jawa, elang hingga burung kakak tua masih dapat diperoleh dari penjualan di media online dan pasar burung atau hewan. Kesadaran masyarakat untuk tidak memelihara satwa liar rupanya masih jauh. Gengsi dan gaya hidup menjadikan satwa liar sebagai materi yang harus dimiliki dan dipameri.

Padahal satwa liar bukanlah peliharaan yang mudah diurus dan merugikan sendiri jika tertular penyakit dari satwa tersebut. Apalagi dengan membuat co-working space atau cafe yang memperbanyak kontak manusia untuk tertular. Maka jelaslah bahaya kesehatan untuk memelihara satwa liar! Masyarakat harus paham akan hal ini. Semoga ketiga binturong yang sudah dewasa ini dapat memperoleh kesempatan kedua untuk menikati alam liarnya.

Stop pelihara satwa liar! Biarkan bebas di alam dan lebih indah menyayangi dengan melihat mereka berlari bebas di hutan. (Nathanya_Orangufriends Malang)

Comments

comments

You may also like